REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiapkan dana sebesar Rp 90 miliar untuk membantu daerah-daerah yang mengalami kekeringan dan krisis air. Dana tersebut diperuntukkan untuk penyediaan air bersih dan pengeboran sumur.
"Dana itu disiapkan untuk daerah-daerah yang langganan mengalami bencana kekeringan seperti Nusatenggara Timur dan Barat, seluruh Pulau Jawa, dan Lampung," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho saat dihubungi Republika, Senin (2/9).
Menurut Sutopo, bantuan itu akan digunakan untuk pengeboran sumur, penyediaan air bersih, dan pemompaan. Bantuan itu akan mulai disalurkan pada pekan depan. Menurut Sutopo, berdasarkan informasi dari BMKG, bencana kekeringan diperkirakan akan terjadi hingga pertengahan September.
Namun, ia menolak jika bencana kekeringan tahun ini adalah yang terparah dibanding tahun-tahun sebelumnya. "Belum, lebih parah tahun-tahun sebelumnya," kata Sutopo. Sutopo menjelaskan, kemarau ini masih tergolong kemarau basah. Sehingga, belum menimbulkan dampak yang terlalu parah.
Selain itu, daerah-daerah yang terkena dampak bencana ini adalah daerah yang memang sering mengalami kekeringan setiap tahun. Saat ditanya kemungkinan korban jiwa, Sutopo menyatakan bahwa perkiraan itu masih terlalu jauh. "Sangat jarang menimbulkan korban jiwa. Paling-paling hanya kerugian ekonomi seperti sawah kekeringan dan gagal panen," katanya.
Sementara itu, kekeringan di sejumlah wilayah Indonesia terus meluas. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (Dinpertanbunhut) Banyumas, Jawa Tengah, menyatakan bahwa areal persawahan seluas 426 hektare di kabupaten ini mengalami kekeringan. "Areal persawahan tersebut tersebar di Kecamatan Wangon, Lumbir, Rawalo, Kebasen, Purwojati, Kalibagor, dan Sumpiuh," kata Kepala Dinpertanbunhut Banyumas Widarso, di Purwokerto, Senin (2/9).
Dia mengatakan bahwa dari total luas kekeringan yang mencapai 426 hektare, 178 hektare di antaranya termasuk kategori sedang dan 248 hektare sisanya masuk kategori ringan. Sementara, untuk areal persawahan yang kekeringannya paling luas, kata dia, berada di Kecamatan Purwojati karena luasannya mencapai 334 hektare yang disusul Rawalo seluas 27 hektare. "Kalau di Lumbir dan Kebasen masing-masing seluas 20 hektare, Sumpiuh seluas 13 hektare, serta Kalibagor dan Wangon masing-masing seluas enam hektare," katanya.
Di Surakarta, suplai air bersih untuk warga yang tinggal di sekitar Kelurahan Jebres, Pusangsawit, dan Mojosongo, Kecamatan Jebres, menyusut akibat musim kemarau yang berkepanjangan. "Ya, akibat menyusutnya suplai itu kami siap melakukan droping air bersih berdasarkan permintaan warga," kata Camat Jebres Sri Wirasti kepada wartawan di Solo.
Ia mengatakan, dirinya mengintensifkan upaya inventarisasi titik-titik rawan kekeringan dari tiga wilayah kelurahan tersebut. Pada musim kering tahun lalu, juga dilakukan droping air bersih di Mojosongo. Namun, diduga masih banyak titik krisis air bersih yang luput dari bantuan.
"Maka dari itu, lurah di tiga wilayah itu kami minta aktif melihat kondisi riil area permukiman warga. Terutama di daerah-daerah langganan kekeringan dan sulit air. Seperti di wilayah bantaran sungai," jelasnya.
Di Riau, sebagian warga Kota Tanjungpinang sudah sepekan kesulitan mendapatkan air bersih sebab sumur mereka mengering. "Sudah hampir sepekan kami kesulitan mendapat air bersih karena air dari sumur sudah kering. Sementara, sumber air bersih di perumahan kami hanya mengandalkan sumur," kata Lisa, warga Perumahan Indonusa Lestari Batu 8, Tanjungpinang.
Air di sumur warga kering karena sejak tiga bulan lalu, hujan tidak pernah turun. Sedangkan, mendung yang sering terjadi dalam sepekan terakhir tidak menurunkan hujan. n antara ed: muhammad hafil
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.