Selasa 03 Sep 2013 03:46 WIB
Data Impor

Impor Indonesia Kembali Naik

 Sapi impor asal Australia diturunkan dari kapal pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (30/7).  (Republika/Aditya Pradana Putra)
Sapi impor asal Australia diturunkan dari kapal pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (30/7). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak lantas meredam pertumbuhan impor. Pada Juli, impor nasional tumbuh 11,4 persen, padahal pada Juni lalu pertumbuhan impor hanya 6,5 persen.

Kepala BPS Indonesia Suryamin mengatakan, minyak dan gas (migas) masih menjadi penyebab utama pertumbuhan impor. Impor migas tercatat tumbuh 17,17 persen menjadi 606,3 juta dolar AS. Sedangkan, impor nonmigas tumbuh 9,71 persen atau 1,175 miliar dolar AS. "Peningkatan impor migas disebabkan oleh naiknya nilai impor semua komponen migas, yaitu minyak mentah dan hasil minyak," ujarnya, Senin (2/9).

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dieksekusi pemerintah pada 22 Juni lalu belum berhasil menurunkan impor minyak. Kebutuhan minyak, lanjutnya, masih tinggi pascakenaikan BBM karena berlangsungnya bulan puasa ditambah dengan periode mudik. Namun dia yakin, konsumsi BBM mengalami penurunan drastis mulai Agustus hingga akhir September nanti.

Sementara itu, nilai ekspor Indonesia masih mengalami penurunan pada Juli. BPS mencatat ekspor mencapai 15,11 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau mengalami penurunan sebesar 6,07 persen dibandingkan Juli 2012, tetapi mengalami peningkatan sebesar 2,37 persen dibandingkan ekspor Juni 2013.

Peningkatan ekspor disebabkan oleh meningkatnya ekspor nonmigas sebesar 7,26 persen dari 11,95 miliar dolar AS menjadi 12,826 miliar dolar AS. Sebaliknya, ekspor migas turun sebesar 18,50 persen, yaitu dari 2,8 miliar dolar AS menjadi 2,28 miliar dolar AS.

Cina masih menjadi tujuan ekspor utama Indonesia mencapai 1,68 miliar dolar AS. Disusul Amerika Serikat sebanyak 1,482 miliar dolar AS dan Jepang sebesar 1,39 miliar dolar AS. Peranan ekspor ketiga negara itu mencapai 35,57 persen.

Dengan demikian, defisit neraca perdagangan Indonesia pada Juli mencapai 2,31 miliar dolar AS. Menteri Keuangan Chatib Basri yakin neraca perdagangan akan membaik pada triwulan III menyusul diterbitkannnya sejumlah paket kebijakan ekonomi oleh pemerintah pada dua pekan lalu. Meskipun demikian, peningkatakn impor ini ditakutkan dapat memperparah kekhawatiran investor terhadap prospek masa depan perekonomian Indonesia.

Hal yang sama diungkapkan Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo. Dia optimistis nilai defisit neraca perdagangan Indonesia akan terus mengecil. “Kemungkinan bulan Juli 2013 itu puncak defisit neraca perdagangan,” ucapnya. Defisit dapat menurun dengan meningkatnya ekspor.

Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, tingginya impor migas disebabkan Indonesia belum memiliki energi alternatif pengganti BBM. Sedangkan untuk menemukan energi alternatif, seperti biofuel maupun biodisel, membutuhkan waktu tidak cukup satu sampai dua bulan.

Sementara itu, kata Enny, impor nonmigas, yaitu kendaraan bermotor, memang berkurang, tetapi nilainya kecil. "Impor nonmigas yang paling menjadi tekanan dalam neraca perdagangan sampai Desember 2013 adalah bahan baku dan pangan," katanya. Namun, penurunan impor bahan baku dan pangan tidak mudah dilakukan.

Bila impor bahan baku dikurangi, akan mengakibatkan investasi melambat. Sedangkan, impor pangan sulit dihindari karena permintaan yang tinggi meskipun harga naik. Untuk itu, Indonesia harus mengembangkan industri hilir sehingga tidak bergantung pada bahan baku impor dan substitusi impor. Pemerintah pun harus bekerja sama untuk mengatasi kekurangan pasokan pangan, padahal Indonesia adalah negara agraris.

Sedangkan, ekspor sulit ditingkatkan karena kondisi perekonomian global masih lesu. Dia menyebutkan, negara tujuan utama ekspor terbesar Indonesia adalah negara yang perekonomiannya menurun, seperti Cina, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan, India.

"Jadi, meski perekonomian AS bangkit dan mengimpor bahan baku, tetapi harga komoditasnya rendah," ucapnya. Untuk itu, kata Enny, lebih baik Indonesia mengatur impor. Apalagi, kontribusi nilai ekspor Indonesia tidak besar, hanya 28-30 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. n rr laeny sulistiawati/muhammad iqbal ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement