Rabu 04 Sep 2013 09:45 WIB
Musim Kemarau

Kemarau, Petani Eksodus ke Kota

Kemarau berkepanjangan melanda Dusun Sukamaju, Desa Cikampek, Timur, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Foto: Dok. BWA
Kemarau berkepanjangan melanda Dusun Sukamaju, Desa Cikampek, Timur, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kekeringan yang melanda lahan pertanian di sejumlah daerah membuat petani kehilangan mata pencaharian. Mereka terpaksa meninggalkan profesinya demi mengepulkan asap dapur.

Warga di wilayah langganan kekeringan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Jateng), merupakan salah satunya. Mereka kembali melakukan eksodus ke sejumlah kota besar. "Karena para petani sudah tidak dapat bercocok tanam," ungkap Muntarimah (43 tahun), warga Desa Semowo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, Jateng, Selasa (3/9).

Meski hanya menjadi pekerja serabutan atau pekerja bangunan lepas, para petani ini mengaku dapat menyambung hidup ketimbang bertahan di desa. Sudah satu bulan terakhir sawah di wilayah desanya mengering, setelah debit air irigasi terus menyusut dan kini mengering. Akibatnya, para petani tidak dapat bercocok tanam. Tak hanya menuju ke sejumlah kota besar yang ada di Jateng, para petani di desanya juga merantau hingga ke ibu kota Jakarta.

Sugiarto (42), suami Muntarimah, juga terpaksa meninggalkan keluarga untuk mencari pekerjaan serabutan di Kota Pekalongan, Jateng. "Setiap tahun, banyak warga Semowo yang pergi ke kota saat musim kemarau tiba. Karena lahan pertanian di desa ini umumnya lahan tadah hujan," ujarnya.

Muntarimah mengatakan, suaminya pernah mencoba peruntungan dengan melakukan perubahan pola tanam palawija, tapi hasilnya juga kurang maksimal. Sugiarto pernah menanam jagung, meski saat panen hasilnya hanya laku Rp 350 per kilogram. "Suami saya lebih memilih menjadi pekerja serabutan atau terkadang pekerja bangunan lepas di kota," ujarnya.

Berdasarkan perkiraan Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jateng, perkiraan awal musim hujan di Jateng akan jatuh pada Oktober. Menurut prakirawan BMKG, Septima, Agustus merupakan puncak musim kemarau di Jateng. Memasuki September ini potensi hujan sebenarnya sudah mulai meningkat.

Curah hujan untuk wilayah utara Jateng sudah mencapai 150 milimeter dan curah hujan di wilayah selatan 200 milimeter. "Artinya, curah hujan ini sudah di atas normal dan potensi hujan di sejumlah wilayah Jawa Tengah sudah sangat terbuka," ujarnya.

Kemarau juga terjadi di Jawa Barat (Jabar). Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan (Distanhutbun) Purwakarta, menginstruksikan petani untuk tidak tanam padi pada musim gadu (musim tanam menjelang kemarau) kedua. Di musim ini suplai air untuk pertanian minim. Solusinya, petani disarankan untuk menanam palawija.

"Ada 31 ribu hektare area sawah yang harus off dulu tanam padi," ujar Kepala Distanhutbun Purwakarta, Balya Ilyas Susila, Selasa (3/9). Adapun palawija yang disarankan ditanam, yaitu kedelai, jagung, serta kacang panjang. Untuk kedelai, wilayah yang paling cocok, yakni di Cibatu, Campaka, Bungursari, Maniis, serta Plered.

Sebenarnya, pada musim kemarau ini dinas telah menyediakan pompa. Pompa tersebut bisa dimanfaatkan petani. Dengan catatan, di wilayahnya ada sumber air. Namun, sumber air tersebut tidak kuat untuk menopang tanaman padi. Karena itu, pompa yang ada nantinya diperuntukkan bagi petani yang akan tanam palawija. n bowo pribadi/ita nina winarsih ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement