REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Inspektur Jenderal Djoko Susilo 10 tahun penjara, Selasa (3/9). Djoko terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan driving simulator SIM tahun anggaran 2011 dan tindak pidana pencucian uang.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa pidana penjara selama 10 tahun," kata ketua majelis hakim Suhartoyo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (3/9). Hakim juga memutus Djoko untuk membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Putusan tersebut kurang dari dua pertiga dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa menuntut Djoko 18 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan.
Meski demikian, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menilai vonis tersebut belum mencerminkan rasa keadilan rakyat. “Kalau melihat dari tuntutan kami 18 tahun. Disparitas antara angka 18 dan 10 itu sepertiganya ada 'gak'? Memang ada. Namun, saya tidak melihat dari sepertiganya itu," kata dia di Semarang.
Penuntut umum juga meminta hakim memerintahkan Djoko membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar dengan subsider lima tahun kurungan. Tuntutan lainnya, Djoko tidak lagi memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Mengenai hal ini, hakim menilai tidak adil dibebankan kepada Djoko. Sebab, aset Djoko yang disita akan dirampas oleh negara karena terbukti melakukan pencucian uang. “Tidaklah adil masih harus dikenakan pidana tambahan uang pengganti," kata anggota majelis hakim Anwar.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, pihaknya tetap mengapresiasi putusan majelis hakim. Meski demikian, dia menyayangkan karena vonis itu belum menjadi putusan yang monumental.
"Kalau konstruksi hukumnya oke, tapi sanksinya belum mengakomodasi tuntutan jaksa penuntut umum," kata dia di gedung KPK. Bambang menambahkan, konstruksi hukum yang dibangun Majelis Hakim Tipikor Jakarta mengakomodasi konstruksi hukum KPK dan berdasarkan fakta di persidangan. Putusan tersebut, kata dia, menarik karena rumusan dakwaan mengintegrasikan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Dia menjelaskan, hakim menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai konstruksi hukum. Bukan hanya UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), melainkan juga UU No 15 Tahun 2002 juncto UU No 25 Tahun 2003 tentang TPPU.
Dengan demikian, kata Bambang, putusan ini bisa menjadi model karena mengintegrasikan dua undang-undang. Selain itu, putusan ini mengintegrasikan undang-undang yang sekarang dan undang-undang yang sebelumnya.
Bambang juga menghargai putusan majelis untuk mengabulkan penyitaan seluruh aset kekayaan Djoko Susilo, kecuali tiga harta yaitu rumah yang didapatkan Djoko sebelum UU No 15 Tahun 2002 berlaku dan dua mobil toyota Avanza yang kepemilikannya jelas.
Direktur Advokasi Pukat UGM Oce Madril mengatakan, vonis 10 tahun termasuk ringan mengingat tindak kejahatan yang dilakukan Djoko. Statusnya sebagai koruptor plus terjerat TPPU layak divonis lebih dari 15 tahun. “Terlebih dia itu penegak hukum, polisi,” kata dia. n irfan fitrat/bilal ramadhan/gilang akbar prambadi/antara ed: ratna puspita
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.