Jumat 06 Sep 2013 08:47 WIB
Kasus Proyek Simulator SIM

Abraham Samad: KPK Banding

Abraham Samad
Foto: Republika/Yasin Habibi
Abraham Samad

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan, pihaknya hampir pasti mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tipikor Jakarta atas kasus korupsi yang dilakukan mantan kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo. Menurutnya, ada hal-hal yang tak memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam putusan tersebut.

“Kemungkinan besar kita akan banding,” ujar Samad usai memberikan pidato ilmiah pada kuliah perdana Program Pascasarjana UGM, Kamis (5/9). Menurutnya, secara pribadi para pimpinan KPK mengusulkan banding karena ada beberapa hal yang menurut hemat mereka belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.

Ada beberapa hal permohonan KPK yang belum dipenuhi dalam amar putusan pengadilan itu. Antara lain, hukuman yang dijatuhkan ke Irjen Djoko Susilo, yakni 18 tahun turun menjadi 10 tahun. Menurutnya, surat pengajuan banding tengah disusun oleh jaksa KPK. “Dalam banding akan diuraikan keberatan kita. Alasan kita untuk itu,” ujarnya.

Selain menyusun langkah untuk banding, kata dia, saat ini KPK juga terus melakukan pendalaman terkait kasus tersebut. Termasuk, indikasi kasus itu mengarah ke petinggi Polri. “Dari kajian itu akan kami putuskan langkah-langkah apa yang akan dilakukan KPK untuk menindaklanjuti kasus Joko Susilo,” katanya.

Pada Selasa (3/9) Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan terhadap Djoko Susilo. Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, yaitu hukuman selama 18 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar.

Dalam proyek pengadaan simulator SIM roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011 di Korlantas Polri, Djoko menjabat sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA). Djoko bersama beberapa orang lainnya disebut dalam dakwaan melakukan perbuatan tindak pidana. Dia dinilai terbukti memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi. Djoko didakwa memperkaya diri senilai Rp 32 miliar.

Selain didakwa dengan pasal korupsi, Djoko juga dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut jaksa, Djoko terbukti membelanjakan, mengalihkan, dan mengatasnamakan aset dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi.

Kendati menyatakan banding, KPK juga menemukan preseden menggembirakan dari vonis Djoko. “Tentu kasus Djoko Susilo ini bisa menjadi preseden penggunaan kombinasi pasal Tipikor dan TPPU, belum yurisprudensi karena putusan terhadap kasus Djoko Susilo masih akan naik di tingkat banding,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.

Jika vonis terhadap Djoko mencapai ketetapan hukum alias inkracht, baru pasal yang dikenakan KPK bisa jadi yurisprudensi. KPK bisa menjerat tersangka lain menggunakan pasal tipikor dan pencucian uang sekaligus.

Beberapa pihak sebelumnya telah menyampaikan kritik terhadap putusan Pengadian Tipikor atas Djoko Susilo. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai bahwa vonis terhadap Djoko Susilo terlalu ringan. “Vonis itu tidak sebanding dengan kerugian negara yang mencapai Rp 32 miliar,” ujar Mahfud.

Menurutnya, dugaan korupsi yang dilakukan sebelum lahirnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada 2002 memang tidak bisa disita. Namun, setidaknya hasil korupsi setelah diberlakukannya UU tersebut harus dikembalikan kepada negara. Dia menyarankan KPK mengajukan banding.

Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki juga menyatakan kekecewaannya atas vonis bagi Djoko. “Dari 18 (tahun) ke 10 (tahun), terkesan terjun bebas,” ujarnya. Dengan adanya putusan itu, menurut Suparman, pengadilan masih belum memperlihatkan upaya investasi untuk membangun harapan dan kepercayaan masyarakat. Padahal belakangan ini, dia mengatakan, lembaga peradilan juga tengah terpuruk dengan adanya vonis bebas Sudjiono Timan di Mahkamah Agung (MA).

Suparman berharap hakim ke depannya tidak matematis dalam melihat masalah. Akan tetapi, menurut dia, harus mengedepankan naluri dan perspektifnya dalam melihat masalah. Terutama, dalam kasus tindak pidana korupsi. n yulianingsih/antara/indah wulandari/irfan fitrat ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement