REPUBLIKA.CO.ID, SAINT PETERSBURG -- Kondisi perekonomian global belum sepenuhnya bebas dari krisis. Negara-negara berkembang masih menghadapi peningkatan volatilitas perekonomian domestik. Ancaman aksi militer terhadap rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad juga berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian.
"Ekonomi global mengalami peningkatan, tetapi terlalu dini menyatakan krisis telah berakhir," demikian bunyi salah satu bagian dari komunike bersama para pemimpin negara anggota Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Saint Petersburg, Rusia, Jumat (6/9). Para pemimpin sepakat melakukan perubahan kebijakan moneter yang hati-hati, terukur, dan terkoordinasi.
G-20 merupakan forum yang terdiri atas 19 negara plus Uni Eropa yang menguasai 90 persen produk domestik bruto (PDB) global. Indonesia menjadi salah satu negara anggota G-20. Pertemuan G-20 pada 2013 ini dibayangi kebijakan quantitative easing bank sentral Amerika Serikat (AS) dan perdebatan rencana serangan militer AS ke Suriah.
Krisis ekonomi tak hanya dipicu oleh kondisi perekonomian domestik negara berkembang, melainkan juga kondisi geopolitik dalam beberapa pekan terakhir ini. Sejumlah pemimpin negara mengkhawatirkan rencana serangan AS ke Suriah mengancam ekonomi global .
Aksi militer ke Suriah akan menambah volatilitas karena investor mempertimbangkan terganggunya arus minyak dari kawasan tersebut. Perdana Menteri Italia Enrico Letta mengungkapkan, negara memerlukan stabilitas. "Kami sangat prihatin dengan hal tersebut (ketidakstabilan di Suriah)," ujar Letta di sela pertemuan G-20.
Perdebatan aksi militer ke Suriah mendominasi sejumlah sesi pertemuan kepala negara di pertemuan G-20. Isu Suriah membuat negara-negara anggota G-20 terbelah. AS mendapat dukungan dari Prancis, Turki, dan Arab Saudi. Sedangkan, penolakan terhadap rencana AS menyerang Suriah datang dari Rusia dan Cina.
Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Timur Tengah Lakhdar Brahimi mengingatkan, tidak ada satu pun negara yang berhak menempatkan hukum di tangannya. "Aksi militer terhadap Suriah tak bisa dilakukan tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB," kata Brahimi seusai bertemu Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di sela KTT G-20.
Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Barack Obama melakukan pertemuan empat mata secara tertutup selama 30 menit. "Pertemuannya konstruktif," kata Putin dalam konferensi pers. Meski begitu, Rusia tetap tak mendukung rencana serangan AS ke Suriah karena bukti penggunaan senjata kimia oleh rezim Assad belum kuat.
Penasihat keamanan nasional Obama, Ben Rhodes, mengatakan, AS yakin rezim Assad menggunakan senjata kimia yang menewaskan 1.429 warga sipil. Duta Besar AS untuk PBB Samantha Power mengatakan, negaranya tidak akan meminta persetujuan Dewan Keamanan PBB untuk menyerang Suriah. n friska yolandha/nur aini/ap/reuters ed: m ikhsan shiddieqy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.