REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah hiruk pikuk Jakarta, traveling menjadi kegiatan yang diperlukan. Suasana penyegaran yang dibawa lewat perjalanan dapat membuat kita lebih siap menghadapi beratnya tantangan Ibu Kota. Jenis traveling yang bisa dipilih juga beragam. Mulai dari traveling ala koper atau ala ransel alias backpacking. Backpacking semakin banyak dipilih belakangan ini karena tidak memerlukan banyak biaya.
Berbekal ransel di punggung, petualangan di berbagai tempat berbeda siap menanti. Bawaan yang tidak merepotkan juga memungkinkan traveler melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang sulit terjangkau apabila membawa banyak bawaan.
Fikhanza menjadi salah satu orang yang tengah giat-giatnya melakukan kegiatan backpacking ke mana-mana. Menurut founder Hijabspeak.com ini, dalam sebulan ia bisa sekali atau dua kali menggendong ranselnya lalu bepergian ke berbagai tempat. Bepergian ala backpacker itu, kata dia, membuatnya lebih cinta kepada Allah Swt. Fikhanza pun merasa, dengan bepergian ia mendapatkan kearifan tersendiri dalam memaknai keberadaan setiap tempat yang dia kunjungi.
Karakter backpacking yang tak membawa banyak printilan, memang membuat Fikhanza bisa bepergian ke tempat-tempat yang lebih terpelosok. Sehingga, dia pun bisa melihat dunia lebih luas dari biasanya.
Menurutnya, banyak pelajaran yang bisa dia dapat dari menempuh perjalanan. Salah satunya adalah dia senantiasa menjadi pribadi yang selalu melihat ke bawah, sederhana, dan rendah hati. “Travelling membuat saya lebih banyak bersyukur menjalani hidup,” ujarnya. Selama ini, memang telah banyak tempat tak biasa yang berhasil dia kunjungi. Mulai dari Gunung Prau di Dieng, Bromo, hingga Mahameru.
Dibanding negara lain, Fikhanza ternyata lebih memilih bepergian ke daerah-daerah di Indonesia. “Saya lebih suka backpacker di Indonesia. Terutama, menyusuri Pulau Jawa. Karena negara kita ini indah, mengapa harus pergi ke negara lain,” ujarnya.
Sebagai wanita, Fikahnaza yang bekerja sebagai Chief Marketing Officer @kabaribeasiswa ini juga mengaku tak takut berpetualang sendirian. Menurutnya, pergi sendiri lebih menyenangkan karena lebih menawarkan kebebasan. Dengan sendirian, dia bisa pergi ke manapun, tidur di mana saja, dan makan apa pun sesuai keinginan hatinya. Meski begitu, pergi sendirian juga bukannya tak memiliki risiko.
Berapa kali Fikhanza sempat menjadi korban penipuan saat bertransaksi masalah ongkos di beberapa tempat. Tapi, dara berusia 22 tahun ini tidak kapok dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai pelajaran berharga. Penampilannya yang berhijab pun, menurut Fikhanza, juga tidak pernah menjadi hambatan baginya dalam bepergian. Menurutnya, hal ini justru memperjelas identitas dirinya sebagai seorang muslimah.
Dengan hijab, dia juga jadi lebih menjaga diri untuk mengonsumsi makanan yang halal. “Kita juga tak perlu repot mengurus rambut karena memakai hijab,” ujar dara yang ingin sekali mengunjungi Way Kambas, Lampung, ini.
Bikin Ketagihan
Travelling ala ransel atau backpacking memang tengah digandrungi saat ini. Dengan biaya perjalanan yang terbilang murah, pengalaman yang didapat justru mahal harganya. Hanya dengan membawa ransel di punggung, sang backpacker dapat menjelajahi dunia. Tidak ada lagi rasa jenuh dan bosan akan kehidupan aktivitas sehari-hari yang monoton.
Biasanya, backpacker juga mengatur rencana perjalanannya sendiri. Mereka lebih suka pergi ke suatu tempat menarik yang jarang dikunjungi orang banyak. Tak heran, pengalaman yang didapat para backpacker biasanya lebih banyak dari traveler biasa. Sekali merasakan, biasanya banyak orang yang ketagihan melakukan perjalanan dengan backpacking.
Hal inilah yang terjadi kepada Dina Rosita dan Ryan Koudys. Pasangan suami istri yang kini terkenal dengan julukan “Dua Ransel” ini sudah lebih kurang empat tahun mengelilingi puluhan negara di seluruh dunia.
Mereka rela meninggalkan rumahnya, aktivitas sehari-hari, teman, dan keluarga. Awalnya, Dina dan Ryan hanya ingin pergi selama setahun. Namun, keduanya justru terus ketagihan bertualang hingga saat ini. Jika berada di suatu tempat terlalu lama, Dina dan Ryan akan langsung terpikir untuk mencicipi tempat lainnya.
Bagi keduanya tidak ada tempat tertentu di dunia yang bisa membuat mereka ingin tinggal selain dunia itu sendiri. “Kami berpikir, mengapa harus ‘kembali’ kalau kami belum ingin kembali,” ujar Dina. Terlebih, meski sedang bepergian, mereka masih dapat bekerja dan menafkahi biaya kehidupan mereka berkat kehadiran jaringan internet. Apalagi, pasangan ini justru mendapatkan banyak pengalaman yang tak ternilai harganya.
Mulai dari rasa bahagia, keakraban, kekompakan, kebersamaan, dan solidaritas keduanya teruji benar selama melakukan perjalanan. Teman-teman baru pun terus hadir mengiringi perjalanan di berbagai negara.
Tak heran, setelah menjelajah lebih dari 40 negara, pandangan hidup Dina dan Ryan kini jauh berbeda dibanding ketika berangkat dulu. “Kini, kami berpikiran lebih terbuka, sederhana, tidak mudah khawatir, dan menghargai setiap budaya yang ada,” kata Dina.
Menurutnya, perjalanan yang dia lakukan juga mengajarkan bahwa harta benda bukanlah kunci kebahagian hidup. Hidup normal, kata Dina, tidaklah penting. Yang penting adalah bagaimana kita menjalani kehidupan dengan sebaik mungkin. “Travelling membuka berbagai dimensi baru dalam hidup kami,” kata Dina yang ketika berbagi cerita dengan Republika yang tengah berada di Nepal.
Setiap negara yang mereka kunjungi selalu mengajarkan hal berbeda. Maklum saja, setiap negara tentu memiliki latar belakang dan norma masyarakat yang berbeda-beda. Misalnya, ketika keduanya berada di Laos. Di sana, kata Dina, warga setempatnya begitu ramah hingga Dina masih saja mengenang indahnya pengalaman bepergian ke sana.
Keramahan yang menghangatkan hati ternyata bisa tetap terjalin meski komunikasi menjadi tembok pembatasnya. “Begitu banyak, dalam, dan fundamental. Lebih baik dirasakan di hati daripada diungkapkan dengan kata-kata belaka,” ujar Dina. Berbagai pengalaman tak terbayar itu akhirnya membuat Dina dan Ryan tergerak mengabadikan catatan perjalanan mereka melalui blog DuaRansel.com dan laman fb.com/duaransel.
Lewat tulisan-tulisan yang dihadirkan, keduanya berharap dapat memberikan harapan dan bukti nyata bahwa keliling dunia bukan hanya sekadar cita-cita. Tapi, dapat dilakukan secara nyata oleh siapa saja di manapun berada.
Hingga saat ini, Dina dan Ryan belum mempunyai rencana untuk berhenti bertualang. Mereka malah masih memiliki segudang rencana lokasi yang ingin mereka kunjungi ke depannya.
Antara lain, negara-negara yang memiliki aurora yang indah, seperti Afrika, Timur Tengah, Amerika Selatan, Indonesia, dan Kutub Selatan. “Masih banyak sisa tempat di dunia yang ingin kami kunjungi. Tapi, kami mengambil apa saja kesempatan yang tersedia,” ujar Dina. n aghia khumaesi ed: setyanavidita livikacansera
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.