REPUBLIKA.CO.ID, MANILA — Kota Zamboanga, Filipina Selatan, masih diselimuti ketegangan menyusul bentrokan senjata yang dibarengi aksi penyanderaan antara pejuang Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dan militer Filipina. MNLF yang menguasai beberapa bagian Kota Zamboanga mengharapkan kesediaan masyarakat internasional untuk menengahi konfliknya dengan Pemerintah Filipina.
Bentrokan antara militer Filipina dan para pejuang MNLF telah memasuki hari ketiga. Selain baku tembak, bentrokan ini juga penyanderaan puluhan warga sipil di empat desa pesisir Kota Zamboanga. Pada Selasa (10/9) kelompok pejuang pimpinan Nur Misuari itu menembakkan dua roket ke pelabuhan utama kota tersebut. Mereka juga membakar beberapa rumah di salah satu desa. Sedangkan, militer mengepung rumah dan masjid yang dikuasai para pemberontak.
Wali Kota Zamboanga Maria Isabelle Climaco-Salazar menginformasikan, mantan gubernur di wilayah Sulu telah mencoba melakukan kontak dengan kelompok bersenjata ini. Namun, rupanya MNLF menolak berbicara dengan siapa pun yang berasal dari Filipina. Kelompok pejuang Muslim ini menghendaki mediasi yang berasal dari dunia internasional.
“Mereka menyatakan ini adalah masalah internasional maka masyarakat internasional dan PBB harus segera datang,” ujar Salazar kepada televisi ABS-CBN, Rabu (11/9). Sebelumnya, MNLF melalui juru bicaranya, Emmanuel Fontanilla, juga meminta bantuan Indonesia untuk ikut menengahi konflik ini. “Kami berharap Kedutaan Besar Indonesia (di Filipina) bertindak,” katanya, Senin (9/9).
Ketika dikonfirmasi hal ini, pihak Kedubes RI, seperti dilaporkan GMA Network, menyatakan akan menunggu perintah dari pemerintah pusat untuk menjawab keinginan MNLF. Sejauh ini, pihak Kedubes RI di Filipina mengaku telah melaporkan kondisi terkini di Zamboanga dan menunggu instruksi selanjutnya.
Bentrokan senjata antara MNLF dan militer Filipina memaksa ribuan warga mengungsi. Sebagian dari mereka memanfaatkan stadion olahraga setempat sebagai lokasi pengungsian. Sedangkan, pemerintah masih menutup jalur penerbangan dari dan menuju Zamboanga, begitu juga dengan transportasi jalur air.
Kota Zamboanga pun dalam beberapa hari ini berubah menjadi zona perang. Personel militer berjaga-jaga di berbagai sudut kota. Kendaraan-kendaraan lapis baja pun hilir mudik dan sebagian lainnya memblokade jalan. Tak sedikit pula penembak jitu mengambil posisi di atap gedung. Sejak kontak senjata pecah pada Senin lalu, dilaporkan sembilan orang tewas, termasuk beberapa anggota militer.
Kelompok pejuang MNLF yang diwakili Nur Misuari menandatangani perjanjian damai dengan Pemerintah Filipina pada 1996. Perjanjian itu dibuat melalui perantara Komite Gencatan Senjata Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Namun, ratusan aktivis MNLF kembali mengangkat senjata karena mereka menuduh Pemerintah Filipina mengingkari janji. Yaitu, janji untuk mengembangkan daerah otonom bagi minoritas Muslim di Mindanao Selatan. MNLF juga merasa tak dilibatkan dalam pembicaraan damai antara Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan Pemerintah Filipina yang berlangsung di Kuala Lumpur.
Pemimpin mereka, Nur Misuari, telah memproklamasikan berdirinya Republik Moro pada beberapa waktu lalu. Namun, sejak 200 pengikutnya terlibat bentrokan senjata dengan militer di Zamboanga, Misuari belum muncul di depan publik ataupun mengeluarkan pernyataan.
Di Manila Presiden Benigno Aquino III memprioritaskan keselamatan sandera dan penduduk kota. Karena itu, ia mengirim menteri dan kepala staf militer untuk mengawasi keamanan di wilayah selatan negara tersebut. Menteri Dalam Negeri Mar Roxas mengatakan, komite krisis yang dipimpin Wali Kota Zamboanga siap berdialog dengan MNLF untuk membebaskan sandera. Saat ini, menurut Roxas, beberapa pejabat pemerintah sudah berkomunikasi dengan seorang komandan MNLF. Namun, belum memperlihatkan hasil yang maksimal. n ichsan emrald alamsyah/ap/reuters ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.