Senin 16 Sep 2013 08:27 WIB
Konflik Filipina

RI Harapkan Solusi Damai di Zamboanga

Tentara Filipina berlindung dibalik tank dalam pertempuran sengit dengan pemberontak di Kota Zamboanga
Foto: AP PHOTO
Tentara Filipina berlindung dibalik tank dalam pertempuran sengit dengan pemberontak di Kota Zamboanga

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA — Pemerintah Indonesia mengharapkan adanya solusi damai atas konflik di Filipina Selatan. Karena itu, Indonesia selalu siap jika diminta untuk menengahi konflik senjata antara kelompok pejuang Front Pembebasan Nasional Moro(MNLF) dan militer Filipina yang sedang terjadi di Kota Zamboanga dan sekitarnya.

Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengatakan, Indonesia sebagai negara tetangga sekaligus fasilitator perjanjian damai antara MNLF dan Pemerintah Filipina pada 1996, tentu terus memantau perkembangan Filipina. Meski begitu, Indonesia mendesak semua pihak untuk menahan diri untuk memastikan keselamatan dan keamanan masyarakat sipil.

“Solusi damai adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil kedua belah pihak,” ujar Marty, seperti dikutip surat kabar Philippine Star, Jumat (14/9). Kedua pihak, menurut Marty, sepatutnya menyandarkan diri pada perjanjian damai tahun 1996. Sebab, perjanjian itu merupakan kesepakatan yang komprehensif sebagai dasar untuk memecahkan masalah di Filipina Selatan. “Khususnya, untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan.” Sekali lagi Marty menegaskan, Indonesia selalu siap untuk berkontribusi dalam perdamaian dan memulihkan kondisi di Filipina Selatan.

Meski dilaporkan meminta Indonesia untuk menengani konflik, MNLF rupanya tak pernah mengajukan permintaan tersebut secara resmi, baik kepada Indonesia maupun negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) lainnya. Hal tersebut dikatakan Duta Besar RI untuk Filipina, Yohanes Legowo. “Pemerintah pusat tak pernah menerima permintaan resmi dari MNLF untuk menjadi mediator atau penengah konflik,” kata Legowo.

Tak hanya Indonesia dan OKI, konflik di Filipina Selatan ini juga menyedot perhatian Uni Eropa (UE). Seperti dikatakan Staf Humas Delegasi UE untuk Filipina, Thelma Gecolea, UE sangat khawatir atas perkembangan konflik di Zamboanga. Aliansi negara-negara Eropa ini juga meminta faksi yang dipimpin Nur Misuari itu untuk membebaskan warga sipil yang disandera.

Gecolea menegaskan, pihaknya mengutuk keras setiap tindakan yang melanggar HAM dan hukum internasional di Zamboanga, khususnya kepada anak-anak dan perempuan. Pada saat yang sama UE memuji Presiden Benigno S Aquino III atas komitmennya untuk mewujudkan perdamaian di Filipina Selatan.

MNLF di bawah kepemimpinan Nur Misuari berjuang untuk kemerdekaan bangsa Moro di Filipina Selatan selama hampir 25 tahun. Cita-cita untuk mendirikan negara sendiri untuk sementara pupus ketika MNLF dan Pemerintah Filipina menandatangani  perjanjian damai pada 1996. Kala itu, pemerintah menjanjikan terciptanya daerah otonomi Mindanao Muslim.

Namun belakangan ini, Misuari menilai bahwa Pemerintah Filipina mengkhianati perjanjian damai tersebut. Misuari juga merasa, faksinya dipinggirkan dalam perjanjian damai yang sedang dirundingkan antara Pemerintah Filipina dan faksi pejuang Muslim lainnya, yakni Front Pembebasan Islam Moro (MILF).

Mengepung

Di Zamboanga militer Filipina dilaporkan telah mendekati lokasi persembunyian para pejuang MNLF. Tak hanya mendekati, tetapi militer juga telah mengepung dan menutup akses kelompok pejuang. Langkah ini diharapkan bisa segera mengakhiri bentrokan senjata yang telah menewaskan 56 orang itu. Dari 56 korban yang tewas, 47 di antaranya berasal dari kelompok pejuang. Korban lainnya adalah empat warga sipil, dua tentara, dan tiga polisi.

Menteri Dalam Negeri Filipina Mar Roxas menginformasikan, pasukan pemerintah perlahan-lahan mampu merebut kembali desa-desa yang dikuasai 200 pejuang MNLF, termasuk akses keluar-masuk di desa pinggiran pantai tersebut. Namun, mengingat kondisi Kota Zamboanga masih sangat rawan, bandar udara dan lalu lintas penyeberangan masih ditutup. Bahkan, pada Sabtu (14/9) helikopter militer yang digunakan untuk menjaga Presiden Aquino ditembaki kelompok bersenjata.

Sejauh ini, ujar pejabat Filipina, militer belum menggunakan alat artileri berat, roket, atau serangan udara. Hal itu dilakukan demi melindungi keselamatan para sandera. 

Pada Jumat (6/9) malam, sebenarnya sempat tercapai kesepakatan gencatan senjata. Hal itu terjadi setelah Wakil Presiden Jejomar Binay berbicara dengan pemimpin MNLF Nur Misuari. Namun di lapangan, kesepakatan itu tak terlaksana karena kelompok pejuang dilaporkan terus melepaskan tembakan. n ichsan emrald alamsyah ed: wachidah handasah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement