REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik dari Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Bony Hargens, menilai bahwa Prabowo Subianto telah melakukan blunder politik dengan membawa Joko Widodo (Jokowi) ke Jakarta. Sebab, setelah Jokowi diorbitkan sebagai Gubernur DKI, kepopuleran pria asal Solo itu malah menandingi pamor Prabowo.
Kini, kata Bony, justru Jokowi yang merupakan calon kuat presiden pada 2014. “Kesalahannya, Prabowo datang dari atas, elitis, ketika muncul Jokowi yang datang dari bawah, dari akar rumput. Kesalahan Prabowo adalah mendatangkan Jokowi ke Jakarta,” ujar Bony, kemarin.
Bila Jokowi dipastikan PDI Perjuangan maju sebagai capres, sudah pasti tidak ada kandidat lain yang mampu menyainginya termasuk Prabowo. Prabowo, menurut Bony, memang muncul sebagai pemimpin yang sangat fokus, tegas, memiliki kebijakan yang bagus, dan mempunyai ideologi yang jelas. Setidaknya, Prabowo telah lekat dengan petani dan sudah dinasbihkan sebagai presidennya para petani.
Namun, tetap saja citra Prabowo itu dinilainya kalah dengan Jokowi. Sebaliknya, makin populernya Jokowi tidak membuat Partai Gerindra ciut. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo mengatakan, fenomena Jokowi saat ini tidak disesali oleh Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Seperti diketahui, Prabowo merupakan sosok yang mendukung pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI berpasangan dengan kader Gerindra Basuki Tjahaja Purnama. Prabowo pula yang meyakinkan PDI Perjuangan untuk mantap mengusung Jokowi dan pasang badan di depan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada Pemilukada DKI lalu. “Kami tidak menyesal sehingga Jokowi terkenal seperti sekarang, keputusan Prabowo back-up Jokowi jadi gubernur bukan keputusan yang salah,” kata Edhy dalam diskusi bertajuk “Memilih Capres Secara Rasional” di Cikini, Jakarta, Sabtu (14/9).
Prabowo, menurut Edhy, menganggap Jokowi sebagai muridnya. Jika ada murid yang pintar, dipastikan ada guru yang hebat di belakangnya. Kesuksesan Jokowi saat ini tentu juga tidak bisa dilepaskan dari dukungan Prabowo. “Kalau Jokowi sekarang hebat, gurunya jelas Prabowo,” ujar Edhy.
Jika kemudian dalam bursa pencapresan nama Jokowi dan Prabowo dikompetisikan, Edhy menilai itu sebagai hal yang wajar. Lantaran, keduanya memiliki kualitas dan keunggulan yang dinilai laik untuk diusung dalam pilpres. Apalagi, dikaitkan dengan UU Pemilihan Presiden yang dianut Indonesia saat ini, setiap partai politik bisa mengajukan calonnya masing-masing sesuai dengan ambang batas pencalonan presiden. “Kalau nanti ada persidangan guru dan murid itu biasa. Guru bersatu dengan murid biasa juga,” ungkap anggota Komisi VI DPR itu.
Tak terbendung
Di pihak lain, pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, lawan politik manapun tak bisa membendung Jokowi. Jika mereka melawan Jokowi, katanya pada Ahad (15/9), maka mereka justru akan dilawan masyarakat sendiri. Jokowi, ujar Hamdi, tidak banyak janji dan menunjukkan kerja keras. Ia juga tidak banyak bicara makanya susah mengajak orang untuk menjelekkan Jokowi atau melawannya.
Warga sendiri, kata Hamdi, juga lebih percaya Jokowi ketimbang PDI Perjuangan. Seharusnya, kesempatan ini digunakan PDI Perjuangan untuk mendongrak citranya. Bagi publik, ujarnya, Jokowi sudah menjadi pilihan. Seharusnya, pesona Jokowi dimanfaatkan PDI Perjuangan untuk menarik warga memilih partainya.
Menurutnya, jika PDI Perjuangan tidak buru-buru mencapreskan Jokowi karena mereka bisa kehilangan momentum. Berdasarkan fakta sosial, Hamdi menjelaskan, Jokowi memang diinginkan oleh publik menjadi presiden. Alasan keberatan terhadap Jokowi untuk nyapres pun makin tidak populer di mata publik. Selain itu, ia juga memiliki political branding yang kuat sehingga sulit dikalahkan. n ira sasmita/dyah ratna meta novia ed: abdullah sammy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.