REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peredaran senjata api menjadi akar masalah sejumlah aksi kriminal yang terjadi beberapa hari terakhir ini. Senjata yang beredar bebas tidak hanya berpotensi menimbulkan aksi kriminal, tapi juga mengganggu stabilitas keamanan.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Mulyana W Kusumah, mengatakan, senjata api akan mengganggu stabilitas ketika berada di tangan kelompok terorganisasi. Pembiaran operasi kelompok bersenjata terorganisasi ini, kata dia, berpotensi menimbulkan pola imitasi gerilya kota. “Jelas, ini akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Aparat tidak bisa menganggap remeh peredaran senjata ini,” kata Mulayana di Jakarta, akhir pekan lalu.
Aksi penembakan yang beberapa kali terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya harus menjadi catatan Kepolisian Indonesia (Polri). Jakarta, menurut Mulyana, merupakan pusat politik, pemerintahan, ekonomi, dan barometer keamanan sehingga penyalahgunaan senjata berpotensi mengganggu semua sendi kehidupan bernegara.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyebutkan, peminat senjata api dari pasar gelap cukup banyak. Senjata-senjata ini kebanyakan berasal dari negara rawan konflik seperti Afghanistan. “Senjata-senjata itu dulunya dipakai penjahat di negara-negara tersebut. Lalu, dibeli dan diedarkan di Indonesia,” kata Bambang, Ahad (15/9).
Senjata api, jelasnya, sangat berbahaya karena hanya pelaku kriminal kelas kakap yang berani menggunakannya, yakni teroris, pengedar narkoba, dan perampok dengan kekerasan. Penjahat kelas teri, kata Bambang, belum banyak menggunakan senjata api.
Berdasarkan data Polri hingga pertengahan 2012, terdapat 18.030 pucuk senjata api berizin di tangan sipil. Jumlah itu terdiri dari senjata berpeluru tajam 3.060 pucuk, berpeluru karet 9.800 pucuk, dan berpeluru gas 5.000 pucuk. Pada tahun yang sama, Polri sudah menarik 10.910 senjata api karena tak memiliki izin atau izinnya habis.
Penyalahgunaan senjata api pada 2009 tercatat 171 kasus, pada 2010 mencapai 143 kasus, dan pada 2011 terdapat 139 kasus. Memasuki akhir 2012 hingga pertengahan 2013, penembakan mulai menimpa polisi. Terakhir, Aipda (anumerta) Sukardi yang berseragam dinas tewas ditembak ketika mengawal truk pada Selasa (10/9) dan Briptu Ruslan luka akibat tembakan di kaki oleh perampok sepeda motor di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, pada Jumat (13/9)
Kadiv Humas Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan, Polri terus berupaya membatasi peredaran senjata api di masyarakat. Polisi sudah tidak lagi mengeluarkan izin untuk memiliki senjata api sejak 2006. Kapolri saat itu, Jenderal Sutanto, meminta seluruh senjata api yang beredar legal ditarik.
Ronny menegaskan, seluruh senjata yang kini ada di tengah masyarakat dianggap sebagai barang ilegal. “Kecuali (senjata api) Polri, TNI, dan untuk atlet. Atlet pun ada aturannya,” kata dia. Atlet di Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Indonesia (Perbakin) memiliki gudang senjata sendiri dan hanya boleh digunakan seizin Polri.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Hamidah Abdurrahman menilai, penanganan penyalahgunaan senjata api harus melalui razia rutin, tidak bersifat insidental ketika terjadi kasus saja. Jika peredaran senjata bisa diredam, kasus-kasus penembakan tidak akan terjadi. “Jika belum ada hasil nyata, keamanan nasional bisa terganggu,” kata Hamidah. n gilang akbar prambadi/antara ed: m ikhsan shiddieqy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.