Selasa 17 Sep 2013 08:25 WIB
Aturan Pemilu

Sumbangan Caleg Bisa Jadi Gratifikasi

Gratifikasi (ilustrasi)
Foto: KPK.GO.ID
Gratifikasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan calon anggota cegislatif (caleg), terutama para incumbent untuk melaporkan penerimaan dan sumbangan dana kampanye dengan nominal Rp 1 juta plus Rp 1. Jika tak melaporkan sumbangan, yang bersangkutan bisa dijerat dengan tindak pidana penerimaan gratifikasi.

“Kalau pejabat publik menerima (sumbangan), apa pun dalilnya, harus taat dan harus lapor. Kalau Caleg incumbent menerima, itu masuk gratifikasi,” kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja usai memberikan kuliah umum di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Senin (16/9).

Menurut Adnan, kewajiban itu tertera dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif dan Peraturan KPU Nomor 17 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Legislatif. Selain itu, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur hal tersebut.

Meskipun, pasal gratifikasi tidak diatur secara jelas dalam UU Pemilu. “Kan ada UU KPK. KPU sudah tahu, UU KPK menangani gratifikasi, tinggal mengutip saja. Yang penting, penerimanya pejabat publik, itu termasuk gratifikasi,” jelas Adnan.

Laporan yang disampaikan caleg, sesuai peraturan KPU tidak langsung ke KPU, melainkan terintegrasi dengan laporan partai politik. Terkait hal itu, Adnan menilai, spirit pelaporan lah yang harus ditangkap para caleg. Laporan dana kampanye menjadi tantangan bagi parpol untuk mengedepankan akuntabilitas dan transparansi terhadap masyarakat.

Kewajiban melaporkan dana kampanye, menurutnya, menguntungkan para caleg. “Daripada harus masuk rezim gratifikasi KPK. Padahal, kan bukan urusan KPK, karena yang rugi malah calon itu sendiri,” ungkapnya.

KPU sebelumnya juga telah menetapkan Peraturan KPU nomor 17 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye. Pelanggaran aturan tersebut berpotensi menggugurkan kesertaan partai politik dan calon anggota legislatif.

Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, dalam Pasal 20 PKPU 17/2013, pelaporan dana kampanye diwajibkan kepada partai politik sebagai peserta pemilu. Tetapi, caleg juga wajib melaporkan pendanaan kampanyenya kepada partai politik.

Sehingga, laporan dana kampanye caleg menjadi bagian tidak terpisahkan dari laporan dana kampanye parpol yang diserahkan ke KPU. Sementara, laporan sumbangan yang diterima partai politik dilaporkan berkala satu kali setiap satu bulan, yakni pada Desember 2013 dan Maret 2014.

Laporan berisi pencatatan penerimaan dan pengeluaran tersebut diserahkan ke KPU sebanyak dua kali. Yakni, laporan awal dana kampanye yang disampaikan paling lambat 14 hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye terbuka dalam bentuk rapat umum.

Laporan kedua, merupakan laporan akhir yang disampaikan 15 hari sesudah pemungutan suara. “Apabila parpol terlambat menyampaikan laporan awal dana kampanye konsekuensinya didiskualifikasi sebagai peserta pemilu di wilayah tersebut,” kata Ida.

Sedangkan, bila caleg tidak taat menyampaikan laporan, tidak ada konsekuensi hukum. KPU hanya akan mengumumkan partai caleg-caleg yang tidak melaporkan dana kampanyenya tepat waktu. Karena itu, partai politik diingatkan Ida untuk memperhatikan konsekuensi waktu. Persoalan lengkap atau tidaknya laporan caleg, bisa dilengkapi pada masa perbaikan.

Hal yang sama juga berlaku pada laporan akhir dana kampanye. Bagi partai politik yang tidak menyampaikan laporannya 15 hari setelah pemungutan suara, konsekuensinya akan merugikan hasil yang diperjuangkan partai dan caleg selama pileg.

“Kalau partai terlambat laporkan maka konsekuensinya calon terpilih tidak akan ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu di daerah tersebut. Jadi, kursi yang sudah diperoleh partai dan caleg bisa kosong,” jelas Ida.

Liasion officer PDI Perjuangan dengan KPU Sudiyatmiko sebelumnya menilai, aturan pelaporan dana kampanye yang dikeluarkan KPU sudah terlambat. Mengingat parpol sudah memulai kampanye sejak Januari dan caleg juga sudah melakukannya sejak bulan lalu. “Kami sudah siapkan rekening khusus parpol, tapi KPU bilang tahan dulu karena aturannya sedang disiapkan. Jadi, ini sudah terlambat sekali,” kata Sudiyatmiko. n ira sasmita ed: fitriyan zamzami

BOX:

Pemilu Buruk dan Parlemen

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja merasa pengawasan bagi para caleg terkait potensi gratifikasi menjelang pemilu beralasan. Sebabnya, menurut Adnan, berdasarkan Corruption Bureaucracy Index dari 2009 hingga 2012 korupsi paling tinggi dilakukan anggota parlemen. “Hanya di Indonesia parlemen yang korup, itulah uniknya dan kreatifnya Indonesia,” kata Adnan di kantor KPU, Jakarta, Senin (16/9).

Di negara-negara Asia Tenggara lainnya, menurut Adnan, kepolisian, lembaga politik, dan pengadilan merupakan tiga besar lembaga paling korup. Tapi, korupsi yang dilakukan anggota parlemen secara masif hanya terjadi di Indonesia.

Sementara, di Kamboja pelaku korupsi tertinggi merupakan pengadilan. Malaysia dan Filipina didominasi polisi. Dan, korupsi di Thailand digawangi partai politik serta polisi.

Dari kurun waktu sembilan tahun terakhir, Adnan melanjutkan, kasus korupsi yang ditangani KPK setidaknya telah menjerat 65 orang anggota parlemen. Semuanya dituntut hukuman di atas 10 tahun kurungan.

“Nah, anggota dewan itulah produk KPU, hasil pemilu. Kalau penyelenggara pemilu tidak bekerja dengan baik, muncullah orang-orang seperti anggota parlemen tersebut,” ungkap Adnan.

Jika tindak pidana korupsi didahului penyelenggara pemilu dalam proses pemilihan, sulit untuk mengharapkan parlemen yang bebas dari korupsi. Perilaku korupsi anggota parlemen juga secara langsung merugikan penyelenggara pemilu.

Karena rendahnya kepercayaan publik terhadap parlemen memicu semakin turunnya partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif. Ujung-ujungnya, membuat penyelenggara pemilu terlibat dalam politik uang dengan peserta pemilu.

Menanggapi pernyataan Adnan, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menilai hal itu nasihat yang baik. Kendati demikian, Priyo mengingatkan, pembenahan untuk memberantas korupsi tidak hanya harus dilakukan DPR, tetapi juga pihak lain.

“Semua pihak harus berbenah lah, hormati saja jalan di KPK. Saya kira maksudnya baik, semua pihak harus mau berbenah,” katanya sebelum menghadiri rapat konsultasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kompleks Kepresidenan, Senin (16/9).

Menurutnya, pandangan dari KPK harus dijadikan bahan untuk berbenah, termasuk untuk DPR. Ia pun mengingatkan KPK memiliki hubungan dengan DPR terlebih lagi saat kelahiran KPK. “Ingat //lho//, KPK itu yang membangun kami dan yang memilih pimpinan adalah kami di DPR,” katanya. n ira sasmita/esthi maharani ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement