REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Rusia menginginkan seluruh wilayah Timur Tengah bebas dari senjata pemusnah massal. Konferensi yang pernah direncanakan untuk membahas hal ini bisa dibangkitkan kembali. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyatakan, Suriah bisa menjadi contoh.
Pemerintahan Presiden Bashar al-Assad siap menghapuskan senjata kimia mereka. “Kami akan berupaya agar pertemuan untuk merumuskan penghancuran senjata pemusnah massal terlaksana,” kata Lavrov dalam wawancara dengan harian Kommersant, Senin (30/9).
Kesepakatan penyelenggaraan konferensi tercapai pada 2010. Inggris, Rusia, dan Amerika Serikat (AS) menjadi sponsornya. Sayangnya, kata Lavrov, Washington menghambat usaha itu dengan mengajukan beragam alasan. AS juga menolak resolusi soal senjata kimia Suriah menjadi dasar bagi resolusi penghapusan senjata pemusnah massal di Timur Tengah. Menurut Lavrov, langkah Suriah mestinya jadi pemicu upaya lebih jauh terkait senjata mematikan itu.
Jangan sampai wilayah Timur Tengah terus bergolak gara-gara keberadaan senjata ini. Semua negara, termasuk Israel, mestinya mau membuangnya. Presiden Rusia Vladimir Putin pernah menyatakan alasan mengapa Suriah lama tak mengungkapkan senjata kimianya.
Rezim Assad berlaku demikian, ujar dia, untuk mengimbangi kepemilikan senjata nuklir oleh Israel. Menteri Luar Negeri (Menlu) Suriah Walid Moalem di Sidang Umum PBB, Senin, pun menyerukan adanya zona bebas senjata pemusnah massal.
Meski demikian, ia memandang itu mustahil terjadi kalau Israel tak bisa disentuh. Negara Arab, seperti Mesir dan Bahrain, mengusung seruan yang sama. Namun, AS dan Israel mengalihkan perhatian. Mereka membidik Iran sebagai ancaman di Timur Tengah.
Secara terpisah, Presiden Israel Shimon Peres menyatakan, Israel akan mempertimbangkan ikut traktat internasional pelarangan senjata kimia. Israel menjadi satu dari enam negara di dunia yang belum ikut Konvensi Senjata Kimia pada 1997. Negara lainnya ialah Mesir, Angola, Korea Utara, dan Sudan Selatan.
“Saya yakin pemerintahan kami akan memikirkannya dengan serius,” kata Peres di Den Haag, Belanda. Peres memang hanya memegang jabatan seremonial di pemerintahan. Namun, ia merupakan sosok berpengaruh. Ia mungkin bisa mengubah kebijakan Israel.
Di sisi lain, Peres menyindir Suriah. Menurut dia, Suriah bergabung dengan traktat ketika menghadapi ancaman serangan militer AS. Israel, kata dia, tak akan terpengaruh tekanan dari luar. Israel akan dengan sendirinya menandatangani traktat.
Selama ini, Israel tak pernah secara publik mengaku mempunyai senjata kimia. Menteri Intelijen Yuval Steinitz mengatakan, Israel siap membicarakan hal itu. Syaratnya, sudah tercapai perdamaian di wilayah Timur Tengah. n bambang noroyono/reuters ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.