REPUBLIKA.CO.ID, Zainal Abidin, warga Kota Banda Aceh, panik saat mengalami guncangan hebat akibat gempa berkekuatan 5,6 skala richter (SR) yang menguncang Kota Banda Aceh dan sekitarnya, Selasa (22/10). Setelah menyelamatkan diri keluar rumah, pikirannya langsung menerawang ke anaknya yang masih sekolah. Bersama para orang tua lain, Zainal mendatangi sekolah untuk menjemput anaknya pascagempa berlangsung.
"Saya khawatir atas keselamatan anak saya. Karenanya saat merasakan guncangan gempa langsung menjemput anak meski pulang sekolah belum waktunya. Biasanya saya menjemput anak-anak sekitar pukul 13.15 WIB," katanya, seperti dikutip Antara. Jalan-jalan menuju sekolah seperti di Madrasah Ibtidaiyah Simpang Jambo Tape mendadak macet karena padatnya arus kendaraan para orang tua yang hendak menjemput anaknya.
Gempa berkekuatan 5,6 SR menguncang Aceh pada pukul 12.40 WIB. Pusat gempa di darat berkedalaman 10 kilometer di koordinat 5,29 lintang utara dan 95,42 bujur timur. Pusat gempa berada pada 16 kilometer barat daya Kabupaten Aceh Besar atau atau 32 kilometer tenggara Kota Banda Aceh.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan sumber gempa berasal dari Sesar Sumatra, dan tidak berpotensi tsunami. Gempa dirasakan kuat oleh masyarakat selama delapan hingga 10 detik. Guncangan gempa yang dirasakan sebagian masyarakat cukup keras itu sempat menimbulkan kepanikan dan mereka berhamburan ke luar rumah.
Nirwana, salah satu warga setempat mengatakan, guncangan gempa cukup kuat dan terasa lama sehingga dirinya langsung turun dari lantai dua bangunan kantor. "Saya takut sekali. Gempa kuat yang disertai tsunami pada 26 Desember 2004 masih membekas," kata Nirwana, yang juga salah seorang korban tsunami delapan tahun silam di Aceh.
Meski Aceh sudah pernah mengalami tsunami pada tahun 2004, kadangkala belum membuat semua warga memiliki kesadaran terhadap bencana. Tak sedikit dari warga yang masih kaget atau tidak tahu apa yang dilakukan saat bencana gempa berlangsung. Padahal, sadar bencana dinilai efektif menekan angka korban jiwa, seperti dialami warga di Pulau Simeulue, Aceh.
Ketika bencana tsunami tahun 2004 menerjang Aceh, warga Simeulue yang tewas hanya tujuh jiwa. Jumlah tujuh jiwa itu terbilang sedikit dibandingkan kematian ratusan jiwa di pulau lain, meski korban satu jiwa pun tetap harus disikapi secara arif.
Namun, sedikitnya korban jiwa di Pulau Simeule menjadi pelajaran bersama pentingnya sadar bencana. Saat tsunami besar pada tahun 2004, kerusakan di Simeulue berupa sebanyak 13.022 bangunan rumah, gedung sekolah, dan rumah ibadah rusak. Padahal, secara geografis, Pulau Simeulue merupakan pulau terdepan yang paling awal dihantam, satu deretan dengan Pulau Mentawai, Nias, dan Pagai, yang menghadap Samudra India.
Mengapa korban sedikit bisa terjadi di pulau itu? Ternyata, kuncinya terdapat pada kearifan lokal sadar bencana terhadap 'smong'. Orang Simeulue menyebut ombak besar dengan kata smong. Kata ini juga merujuk pada tsunami atau gulungan ombak besar yang pernah menghancurkan desa di Simeulue, pada ratusan tahun lalu. Ada catatan, istilah smong muncul saat terjadi tsunami besar di Simeulue pada tahun 1907.
Menyadari pentingnya sadar bencana sejak dini itulah, sejumlah sekolah dan organisasi sosial mendidik anak-anak atau siswa sekolah agar memiliki kemampuan sadar bencana sejak usia dini. Pepatah Minang mengajarkan semua pihak agar selalu belajar pada lingkungan dan alam sekitarnya, “alam terkembang jadi guru.” Artinya, kita tidak boleh pasrah maupun sepenuhnya menyerahkan diri kepada takdir.
Namun, harus berusaha dan belajar kepada alam. Belajar memahami alam sejak usia dini. Seperti dilakukan Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dompet Dhuafa (DD). Awal tahun ini, Kerlip menobatkan ratusan anak menjadi Duta Anak untuk Sekolah/Madrasah aman dari Bencana. Penobatan ditandai dengan penyematan pin dan penyerahan sertifikat.
Menurut Direktur Green Smile yang menjadi bagian Kerlip, Nurul Fitry Azizah, ratusan anak yang menjadi duta tersebut terdiri dari siswa dan siswi SD/MI, SMP/ MTs, SMA/SMK/MA di Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan Lampung. Penobatan tersebut mengambil tema "Gerakan Membangun Indonesia Ramah Anak bersama Keluarga Peduli Pendidikan" atau Gembira bersama Kerlip.
Nurul menjelaskan, penobatan Duta Anak untuk Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana ini dilakukan untuk menumbuhkan kepedulian sejak usia anak terhadap pendidikan, lingkungan hidup dan kebencanaan. "Komitmen multipihak dalam meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan pada sekolah aman bencana sangat penting," katanya kepada Republika.
Terutama, lanjut dia, yang dialami kelompok rentan/manula, pasien, perempuan, anak-anak, lanjut usia dan orang berkebutuhan khusus (difabel). Pembuat kebijakan, kata dia, dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan harus mengakomodir kepentingan kelompok rentan tersebut.
Upaya peningkatan sadar bencana telah dicetuskan dalam Deklarasi Yogyakarta sebagai hasil Asian Ministrial Conference for Disaster Risk Reduction Ke-5. Di antara poin pentingnya adalah upaya pengurangan risiko bencana (PRB) dan adaptasi perubahan iklim (API) di kawasan Asia Pasifik.
Menurut Nurul semua pihak sepakat untuk mendukung, menggandakan dan memperkuat komunitas berbasis inisiatif PRB dan API di tingkat lokal. Misalnya sekolah dan rumah sakit aman bencana.
Menurut Nurul, Pemerintah Indonesia sudah memperhatikan sekolah aman melalui Peraturan Kepala BNPB No 4/2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Peraturan ini diluncurkan Mendikbud bersama BNPB pada peringatan hari pendidikan nasional. Dalam aturan ini, dengan gamblang disebutkan bahwa peserta didik harus aktif dalam upaya PRB di sekolah/madrasah, sekaligus menjadi tutor sebaya.
Regulasi itu merupakan sinkronisasi kebijakan dan praktik baik dari multipihak. PRB dan API di sekolah/madrasah, menurut dia, harus menggunakan metode yang menyenang kan dan partisipasi sukarela. Kunci pertamanya harus melibatkan anak. ''Jadi setiap anak perempuan dan laki-laki bisa menjadi duta untuk program ini," katanya. Seperti mengirimkan foto dan narasi. Konten foto maupun narasi adalah mengisahkan berbagai aktivitas sepanjang 20 menit bersama keluarga, atau saat melakukan Evaluasi Diri Sekolah Ramah Anak, serta kegiatan tutor sebaya di kelas maupun sekolah/madrasah. n zaky al hamzah