REPUBLIKA.CO.ID, Koordinator Program Pengurangan Resiko Bencana DMC Dompet Dhuafa (DD), Erry Haryadi membenarkan, bencana alam yang sering kali terjadi di Indonesia kerap membuat masyarakat belum siap untuk menghadapinya. Pengurangan resiko bencana, merupakan salah satu alternatif penting untuk mengurangi resiko bencana.
Dia mengakui di Indonesia masih belum terbangun pola penanaman pemahaman kebencanaan yang komprehensif, khususnya di tingkat usia dini. Saat ini baru terinisiasi sekolah aman, namun itu baru menjangkau pada tingkatan Madrasah Tsanawiyah (MTs). "Tapi belum merata pada sekolah-sekolah di Indonesia," katanya kepada Republika.
Pada September 2013 lalu, DD menggelar sosialisasi pemahaman bencana tingkat dini kepada ratusan siswa SDN Wantisasi 1, Kabupaten Lebak, Banten. Program itu untuk meningkatkan kesadaran terhadap bencana, agar anak didik memahami bencana alam dan risikonya serta lebih siaga dalam menghadapinya. Program Safer School yang mengambil tema 'Sekolah Cerdas Bencana' itu diikuti 50 murid.
Pemilihan terhadap warga Lebak, Banten, karena masyarakat Lebak berada di rawan banjir. Sehingga diimbau agar lebih tanggap apabila bencana banjir datang. Selain memberikan penyadara pada anak didik, masyarakat juga punya kesadaran terhadap bencana yang akan timbul serta rencana strategis untuk kesiapsiagaan masyarkat yang berada di zona rawan.
Erry menuturkan, Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Oleh sebabnya, anak-anak harus diberikan pengertian untuk punya kesadaran terhadap bencana yang akan terjadi. Memberi pengertian tersebut memang merupakan salah satu upaya jangka panjang dalam usaha pengurangan risiko bencana. “Kita tidak bisa melawan alam. Namun kita bisa menyesuaikan diri dengan alam sambil mempersiapkan diri terhadap bencana yang akan terjadi. Hal itu tetap harus dilakukan agar anak-anak dan masyarakat sadar betapa pentingnya sadar bencana,” paparnya.
Untuk tahun ini, sekolah yang sudah masuk dalam Program Safer School ini diikuti sekitar 25 sekolah dari berbagai daerah, mulai dari IKPN Bintaro, Lebak dan Pandeglang (Banten), Blora dan Wonosobo (Jawa tengah, Ponorogo, Tuban dan Bojonegoro di Jawa Timur), Rote Ndao di NTT, Serta Sumatra Barat. "Dari hasil evaluasi di awal dan di akhir program, program ini berhasil dalam mentransfer pemahaman bencana kepada siswa atau anak-anak," terangnya.
Untuk metode penanaman kesadaran kebencanaan, DMC DD menggunakan metode bermain sambil belajar. Permainan-permainan yang syarat akan nilai kewaspadaan diterapkan. Metode pendekatan lain adalah bernyanyi karena efektif dalam penyampaian materi kebencanaan pada anak.
Menurutnya, salah satu metode sadar bencana yang dinilai sukses adalah penerapan di Jepang, yakni even “Youth Competition for Disaster Education” yang digelar Japan Foundation. Erry mengaku dirinya pernah masuk putaran final dalam even tersebut. Dalam even itu ditampilkan beberapa metode pembelajaran bencana usia dini di Jepang.
"Saya rasa metode tersebut dapat dilaksanakan atau diterapkan (di Indonesia) dengan pendekatan berbagai stake holder," katanya. Terpenting pihak-pihak yang langsung bersentuhan dengan anak, seperti lingkungan keluarga (komite sekolah), guru, dan sebagainya juga dilibatkan untuk diberi pemahaman pentingnya pengetahuan bencana disamping para siswa.
Presiden Direktur Dompet Dhuafa (DD), Ahmad Juwaini menjelaskan, Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa (DD) adalah jejaring pelaksana program kebencanaan Divisi Relief Dompet Dhuafa. Tugas pokok DMC adalah menjadi garda terdepan pengelolaan kebencanaan, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Kebencanaan yang dimaksud adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam. "Antara lain berupa; gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor, termasuk di dalamnya kebakaran," jelasnya kepada Republika.
Untuk memahami tugas pokok DMC-DD tersebut, kata dia, maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa terdapat tiga fase utama dalam pengelolaan kebencanaan, meliputi: masa sebelum terjadi bencana (pra bencana), saat terjadi bencana dan setelah terjadi bencana.
Masa sebelum terjadi bencana lebih dikenal sebagai fase mitigasi. Dalam fase ini DMC-DD mengambil peran strategis dalam melakukan kampanye pengurangan resiko bencana berbasis komunitas. Metode yang digunakan antara lain diskusi public berupa seminar, milis, bincang-bincang, training, dan sebagainya.
Metode lainnya, lanjut Juwaini, adalah berbasis media, baik media cetak maupun elektronik yaitu berupa leaflet, brosur, website, film, perpustakaan, dsb. Yang tak kalah pentingnya adalah metode role play berbasis komunitas.
Metode ini menggunakan nama 'Kampong Tanggap Bencana' disingkat kata bencana. Kata bencana menargetkan hasil lahirnya kesadaran masyarakat tentang kewilayahan dan potensi bencananya, serta keterlibatan mereka dalam aktivitas pengurangan risiko bencana.
Tahapan berikutnya adalah masa setelah terjadinya bencana. Masa ini terdiri dari dua bagian besar. Pertama sering disebut sebagai masa pemulihan (recovery). Program-program recovery bertujuan membantu para korban bencana agar segera pulih dari traumannya dan menjalani aktifitas kesehariaannya, seperti trauma healing, sekolah darurat, pelayanan orang cacat dan jompo serta ibu hamil, dan lain-lain.
Menurut dia, fase ini juga menginisiasi pelibatan komunitas untuk bergabung menjadi relawan aktif membantu aktifitas posko dan pengelolaan pengungsian. Ke dua masa pembangunan kembali/rekonstruksi, yang ditandai dengan pembangunan hunian sementara yang menjadi tempat berteduh para pengungsi untuk satu–dua tahun, sehingga mereka dapat kembali hidup normal di rumah tinggalnya secara permanen. "Termasuk pembangunan infrastruktur/sarana/prasarana, fasilitas umum/sosial lainnya," jelasnya.
Khusus pengelolaan bencana luar negeri, dalam rangka Diplomasi kemanusiaan, ungkap Juwaini, DMC menjadi tim kemanusiaan Dompet Dhuafa yang diutus untuk beberapa tujuan. Yakni memberikan bantuan pragmatis korban sesuai kebutuhan yang paling mendesak; membangun aliansi strategis dalam bentuk jaringan komunikasi dan kerjasama dengan lembaga internasional, regional, maupun lokal di kawasan bencana.
Hal ini, urainya, dilakukan dalam rangka mempersiapkan program jangka panjang dan stratgis di lokasi bencana; dan meningkatkan hubungan koordinasi dengan perwakilan Pemerintahan Indonesia di Negara tersebut.
Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Mukhamad Najib mengatakan, sosialisasi sadar bencana di masyarakat sudah dilakukan, terutama di daerah-daerah rawan bencana. Begitu juga dengan di beberapa sekolah. "Namun memang belum masif," katanya, kepada Republika. "Termasuk sosialisasi kepada para anak didik," lanjutnya.
Hal ini berbeda dengan siswa di Jepang. Mereka mengenal bencana, terutama gempa bumi, dan ancamanya sejak duduk di Taman Kanak-kanak (TK). Bahkan, training menghadapi bencana sudah dikenalkan di setiap kelurahan di Jepang.
Kondisi sekolah pun sudah di-setting siap menghadapi bencana. Misalnya, jelas Najib, di setiap sekolah sudah disediakan pusat evakuasi jika sewaktu-watu terjadi bencana. Sekolah-sekolah tersebut juga menyediakan helm, pelampung dan kebutuhan-kebutuhan lain jika terjadi bencana.
Kesiapsiagaan lain adalah penyediaan alarm bencana. Ada peralatan dan perlengkapan jika terjadi bencana. "Setiap enam bulan sekali ada simulasi bencana yang diikuti semua siswa," jelasnya. Selain melatih sadar bencana, simulasi itu juga untuk mengecek kondisi alat-alat tersebut, apakah masih berfungsi baik atau sudah rusak. Selain simulasi, siswa-siswa sekolah mendapatkan pemahaman sadar bencana melalui film hingga poster-poster menarik sehingga siswa tak merasa bosan atau digurui. "Ini bisa dicontoh di sekolah di Indonesia," katanya.
Sementara, dia mengakui, kondisi serupa belum terdapat di sekolah-sekolah di Indonesia. "Mungkin masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pemberani, terbiasa berhadapan dengan risiko," ungkap kandidat doktor the University of Tokyo, Jepang ini. Di IPB, Najib mengaku aktif di pusat studi bencana.
Selain minimnya peralatan antisipasi bencana di gedung sekolah, Najib juga menyoroti belum lengkapnya peralatan menghadapi bencana di kantor-kantor pemerintahan seperti di Jakarta. Dia mengamati beberapa gedung di Jakarta hanya menyiapkan peralatan kesiapsiagaan bencana.
Meski kini di sejumlah daerah sudah ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang bertanggungjawab saat bencana, pra dan pasca bencana, namun tidak semua daerah sudah membentuknya. Dia mencontohkan BPBD di Kabupaten Bogor, Jabar. Petugasnya melakukan sosialisasi becana melalui radio pada saat berpoetnsi menimbulkan rawan bencana. "Seperti ketika curah hujan tinggi, maka ada potensi banjir dan penyakit endemik disana. Nah biasanya BPBD menyampaikan antisipasinya via radio, menyampaikan apa-apa yang perlu diperhatikan dan disiapkan masyarakat," tutur Najib.
Mestinya negeri yangg terletak tepat dipertemuan tiga lempeng bumi plus 129 gunung berapi yang merupakan negara dengan jumlah gunung api terbanyak terbanyak di dunia seharusnya mempunyai sekolah akademi rescue dan mitigasi bencana dengan siswa dari berbagai wilayah rawan bencana.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho membenarkan, kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana masih rendah. Ini berbanding terbalik dengan pengetahuan tentang bencana yang meningkat. Masyarakat tahu membuang sampah dapat menyebabkan banjir, tapi masih saja buang sampah sembarangan.
Mengapa hal itu masih dilakukan? Sutopo menjawab: “Pengetahuan tadi belum menjadi kognitif yang diterapkan di kehidupan sehari-hari." Sadar atau tidak sadar, kata dia, negeri ini sulit luput dari bencana. Faktanya, Indonesia memiliki 13 jenis bencana. Sebutlah, misalnya, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, atau longsor.
Menurut laporan PBB, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang membuat peta risiko secara nasional, kemudian disebar langsung kepada BPBD. Peta risiko bencana yang dibuat BNPB menggunakan rumus risiko, yaitu bahaya (hazard) x kerentanan : kapasitas.
Maka itu, keberadaan BNPB ini, jelas dia, bertujuan membangun bangsa yang tangguh menghadapi bencana. Salah satu cirinya adalah memiliki daya antisipasi. Sudah tahu tinggal di lereng-lereng pegunungan yang potensinya longsor, untuk antisipasinya perlu menanam pepohonan.
Ciri lainnya adalah memiliki daya proteksi dan daya adaptasi. Tinggal di bantaran sungai sudah tahu rentan banjir. Adaptasinya, bangun tempat tinggal yang tinggi untuk menaruh harta benda agar tidak terkena banjir. "Tinggal di daerah gempa, bangun rumah tahan gempa," kata doktor Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, IPB ini.
Saat ini, 33 BPBD (badan penanggulangan bencana daerah) provinsi sudah terbentuk. Tapi, dari 497 kabupaten/kota, baru 366 BPBD kota yang terbentuk. Hal ini karena adanya politik lokal. Ganti kepemimpinan pemerintahan daerah (pemda), ganti pula BPBD-nya sehingga perlu penyesuaian lagi, pelatihan lagi mengenai masalah manajemen penanggulangan bencana dimulai dari pra, tanggap darurat, sampai pascabencana. "Ada yang ganti bupati, ganti empat kali kepala BPBD-nya," katanya.
Letak geografis Indonesia berada di antara cincin api yang rentan bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor dan banjir. Sadar akan bahaya besar tersebut Kementerian Sosial (Kemensos) membangun Pusat Latihan Taruna Siaga Bencana (Tagana).
Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri mengatakan, kini terdapat 29 ribu relawan Tagana yang tersebar di 33 provinsi serta potensi masyarakat terlatih. Pada hakikatnya, jelas dia, tagana hadir untuk mengurangi risiko dan menekan dampak bencana terhadap masyarakat. Penanggulangan bencana harus dilaksanakan terencana, terpadu, terkoordinasi serta menyeluruh.
Kemensos memberikan logistic supporting system, termasuk capacity building, manajemen bencana dengan membangun pusat pelatihan yang lengkap dengan simulasi bencana di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat. “Pusat pelatihan dan sarana tidak hanya diperuntukan bagi Kemensos saja. Tetapi lembaga lain yang punya kepedulian terhadap bencana alam silakan berlatih di sana," sarannya.
Masyarakat harus diberikan penjelasan agar memahami peran dan fungsi penanggulangan bencana alam. Tentu, dilakukan langkah-langkah pemberdayaan, seperti penguatan, pemantapan dan pelatihan sesuai budaya, kearifan lokal, kemampuan serta potensi masyarakat itu sendiri. n zaky al hamzah