Jumat 25 Oct 2013 08:55 WIB
Perekonomian Indonesia

Kebijakan Ekonomi Perlu Terobosan

Pembangunan ekonomi Indonesia
Foto: ANTARA
Pembangunan ekonomi Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan ekonomi membutuhkan terobosan baru dalam menghadapi tantangan ekonomi yang berat pada 2014. Apalagi, perekonomian Indonesia menghadapi dua tantangan besar, baik dari internal maupun eksternal.

Bank Indonesia (BI) melihat, dari sisi internal perekonomian dalam negeri masih terbebani defisit transaksi berjalan dan inflasi tinggi. Dari sisi eksternal, ekonomi negara berkembang tertekan di tengah membaiknya ekonomi negara-negara maju. Dengan begitu, terobosan kebijakan ekonomi menjadi sangat penting di sini.

"Ekspor akan memberikan kontribusi bagi tekanan defisit neraca perdagangan," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, Kamis (24/10). Salah satu cara meningkatkan kinerja ekspor, menurut Agus, dengan pemberian kredit ekspor dari perbankan.

BI mendorong dan mendukung sektor kredit yang meningkatkan kinerja ekspor dan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat. Perbankan, jelas Agus, juga didorong untuk lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor manufaktur (industri) dan jasa.

BI sendiri, kata dia, terus melakukan stabilisasi moneter dengan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebanyak empat kali sejak Juli 2013. Kini, BI Rate sebesar 7,25 persen di tengah tingginya tekanan inflasi yang juga sudah menyentuh angka psikologis.

BI memperkirakan kredit pada 2014 melambat dengan pertumbuhan 15,3 hingga 16,6 persen, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 sebesar 5,8 hingga 6,2 persen. "Jika pertumbuhan kredit lebih dari itu, dikhawatirkan menciptakan tekanan pada ekonomi," ujar Agus.

Defisit masih mendominasi neraca pembayaran Indonesia. Defisit pada 2012 sebesar 1,63 miliar dolar AS, sementara defisit pada Januari hingga Agustus 2013 adalah 5,54 miliar dolar AS. Surplus terjadi pada Agustus dengan ekspor 13,16 miliar dolar AS dan impor 13,03 miliar dolar AS. Komoditas impor didominasi bahan baku, seperti mesin, peralatan listrik, dan besi baja.

Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan negara-negara yang tumbuh, termasuk Indonesia, untuk beradaptasi dengan lanskap baru perekonomian global. Lanskap baru itu tecermin dari keadaan ekonomi yang berbalik di mana negara-negara maju mengalami pertumbuhan yang naik, sementara negara-negara yang tumbuh melambat ekonominya.

IMF menyebut pergerakan nilai tukar mata uang juga sedang memasuki fase baru yang memang harus dibiarkan. IMF meminta negara-negara yang tumbuh ini untuk tidak melakukan intervensi atas mata uang mereka sehingga menemukan keseimbangan baru. Hal terpenting, kata IMF, penyesuaian kebijakan harus lebih ketat untuk menahan inflasi dan mengurangi defisit neraca pembayaran.

Ekonom Indef, Ahmad Erani Yustika, berharap adanya kebijakan baru dalam perekonomian Indonesia mengingat ada kegagalan ekonomi berupa defisit fiskal dan rasio utang. "Kalau kita ingin lebih kuat, kita harus bangun stabilitas ekonomi dari domestik," kata Erani.

Impor semakin tinggi karena Indonesia butuh impor barang modal untuk melakukan produksi. Bidang industri yang membutuhkan impor bahan baku adalah tekstil dan sepatu. Keduanya membutuhkan pasokan mesin dari luar negeri, utamanya Cina.

Padahal, angka ekspor tekstil dan sepatu cukup besar. Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan ekspor sepatu bisa meningkat hingga 30 persen dibandingkan tahun lalu asalkan pemerintah melakukan lima hal.

Eddy meminta industri padat karya jangan diberatkan ketika hendak mengajukan kredit pinjaman di bank. Dia mencontohkan, di negara-negara lain, bunga kredit pinjaman bank untuk industri padat karya hanya 6 persen, sedangkan di Indonesia 11 persen. "Bahkan, bank menganggap industri padat karya, seperti sepatu dan tekstil, adalah industri yang bermasalah sehingga kami dipersulit untuk mendapatkan kredit," ujar Eddy, kemarin.

Hal senada disampaikan Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy. Menurut dia, pemerintah seharusnya memberikan bantuan fasilitas ekspor bagi industri tekstil. Nilai ekspor tekstil 2012 sebesar 12,6 miliar dolar AS dan tahun ini diperkirakan 13,4 miliar dolar AS.

"Tetapi, itu semua tergantung dari tindakan pemerintah untuk membenahi masalah energi, adanya bea masuk, dan pengupahan buruh," kata Ernovian. Dia menjelaskan, industri tekstil butuh keringanan bea masuk barang impor dan pajak. Selain itu, masalah harga dan suplai energi juga harus dibenahi pemerintah. n friska yolandha/rr laeny sulistyawati ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement