Rabu 30 Oct 2013 05:28 WIB
Penyadapan Telepon

AS di Bawah Tekanan

Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat
Foto: Reuters
Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mendapat tekanan kuat, baik dari dalam maupun luar negeri, terkait operasi intelijen Badan Keamanan Nasional (NSA). Terlebih, Presiden AS Barack Obama dilaporkan tak mengetahui sejauh mana operasi intelijen tersebut.

Tekanan dari dalam negeri, salah satunya datang dari Ketua Komite Intelijen di Senat Dianne Feinstein. Seperti dilaporkan the Guardian, Selasa (29/10), Feinstein benar-benar menentang operasi NSA yang memata-matai sekutu AS. Padahal, selama ini Feinstein dikenal sebagai pembela setia NSA. Terkait perkembangan terbaru ini, ia menuntut peninjauan total terhadap semua program mata-mata NSA.

Senator Demokrat asal Kalifornia ini mengkritik keras dugaan penyadapan terhadap para pemimpin dunia yang dikenal baik kepada AS. Ia merujuk kepada penyadapan ponsel milik Kanselir Jerman Angela Merkel.

Menurut Feinstein, NSA memang memiliki daftar nomor telepon yang secara legal diizinkan hukum. Namun, tampaknya NSA juga memiliki koleksi nomor telepon lainnya yang tak pernah diberitahukan kepada Komite Intelijen Senat. Khususnya, nomor telepon para pemimpin negara-negara sekutu AS, seperti Prancis, Spanyol, Meksiko, dan Jerman.

Karena itu, ia meminta agar Komite Intelijen dan Presiden Obama mendapat data resmi dokumen program NSA. “Peninjauan ulang diperlukan agar Komite Intelijen Senat sepenuhnya tahu apa yang dilakukan pihak intelijen.”

Feinstein juga tak mengerti mengapa NSA mengumpulkan informasi dengan menyadap pembicaraan telepon dan e-mail perdana menteri serta presiden dari negara sekutu AS. Yang lebih aneh, kata dia, Presiden AS bahkan tak tahu kegiatan NSA sejak 2002. Padahal, seharusnya, lanjut dia, Presiden mengetahui dan menyetujui setiap operasi intelijen tersebut. Karena itu, bagi Feinstein, operasi ini adalah sebuah masalah besar.

Ucapan Feinstein merupakan teguran keras kepada NSA dan Obama. Pada Senin (28/10), Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney untuk pertama kalinya mengakui bahwa pembocoran operasi intelijen AS oleh Edward Snowden telah menciptakan ketegangan di negara adidaya itu.

Carney juga mengatakan, pemerintah Obama menyadari adanya kebutuhan untuk menambah batasan dalam pengumpulan dan penggunaan data intelijen. AS, kata Carney, berkomitmen untuk menjamin pengumpulan informasi dilakukan bukan karena 'kami bisa', tetapi karena 'kami harus' dan 'kami butuh untuk keamanan kami'.

Ia mengatakan, sebuah kajian terkait sumber daya intelijen AS kini sedang dilakukan. “Harapannya, kajian tersebut bisa membantu pemerintah dalam memperhitungkan secara layak kepentingan keamanan, baik untuk warga kami dan sekutu kami, serta kekhawatiran dilanggarnya privasi warga AS dan seluruh dunia,” tambah Carney seperti dilansir BBC News.

Pada Senin malam, dalam wawancara dengan ABC News, Obama mengatakan, saat ini ada peninjauan ulang untuk memastikan pengawasan yang tepat terhadap operasi NSA. Ia menambahkan, operasi keamanan nasional ini hanya memiliki satu tujuan, yakni memastikan rakyat AS aman. “Sayangnya, terjadi masalah dalam pengumpulan data tersebut,” kata Obama.

Sementara, dua petinggi badan intelijen AS akan memberi kesaksian di depan Komite Intelijen Kongres. Mereka adalah Direktur Intelijen Nasional James Clapper dan Direktur NSA Jenderal Keith Alexander. Dua petinggi itu akan memberi penjelasan terkait kegiatan ilegal lembaga yang mereka pimpin.

AS sebenarnya telah menandatangani perjanjian dengan Inggris untuk tidak melakukan kegiatan mata-mata. Pakta itu ditandatangani setelah Perang Dunia II. Perjanjian serupa dibuat juga dengan Australia, Selandia Baru, dan Kanada. Jika benar AS memata-matai warga Eropa, termasuk Inggris, AS dengan sendirinya telah melanggar perjanjian itu. n ichsan emrald alamsyah/ap/reuters ed: wachidah handasah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement