REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
E-mail: [email protected]
Medio 1998, Menteri BUMN saat itu, Tanri Abeng, mengajak Robby Djohan membenahi PT Garuda Indonesia. "Rob, saya pikir Garuda harus direstrukturisasi karena akumulasi kerugiannya sudah terlalu besar. Arus kasnya sudah minus dan nett asset value perusahaan sudah negatif," kata Tanri kepada Robby.
Robby menjawab, "Saya keberatan untuk menjadi CEO. Pak Harto belum tentu setuju, Tan. Sudah beberapa kali nama saya disebutkan, tapi nggak pernah ada kelanjutan beritanya. Mungkin karena saya orang yang susah diatur." Tanri menjawab bila Pak Harto justru setuju menunjuk Robby untuk membenahi Garuda.
Itu cuplikan dari bab “Menerbangkan Kembali Garuda” buku berjudul, The Art of Trn Around: Kiat Restrukturisasi, karya Robby Djohan. Awalnya Robby ragu karena kemampuannya bukan industri penerbangan. "Saya sendiri masih buta. Penerbangan bukan bidang saya. Saya tidak ada pengalaman," tulisnya.
Namun, Robby akhirnya menjadi CEO Garuda Indonesia. Robby menghadapi setumpuk tantangan yang membuat Garuda Indonesia sulit untuk terbang lagi. Misi Robby berlabel 'impossible'. Setumpuk masalah seperti utang sebesar 1,2 miliar dolar AS, dengan total nilai asetnya tak mencapai angka itu. Jumlah karyawan terlalu gembrot dan mubazir, karena dari 13 ribu orang karyawan Garuda Indonesia, sebenarnya hanya butuh sekitar 6 ribu orang.
Rute-rute yang tidak produktif terus dibiarkan dibuka, kemudian masalah pelayanan yang buruk sekali karena sering delay tanpa pemberitahuan. Bahkan, salah satu konsumen menjuluki Garuda Indonesia dengan akronim baru, yaitu GARUDA (Garuda Always Reliable Until Delay Announced) yang menggambarkan betapa amburadulnya manajemen Garuda Indonesia.
Sayangnya, kiprah Robby Djohan hanya lima bulan untuk membenahi Garuda Indonesia. Robby ditugaskan membenahi bank-bank yang dimerger. Meski lima bulan, Robby sukses membenahi Garuda. Ia memberi gambaran bahwa perubahan harus mendasar dan membuang yang jelek-jelek. Seluruh aspek seperti manajemen, operasional, pemasaran, dan keuangan harus diubah secara bersamaan.
Kini, Garuda Indonesia bisa terbang kembali dan menjadi perusahaan kelas dunia di bawah kendali Emirsyah Satar. Garuda juga berhasil merestrukturisasi utang yang mencapai di atas Rp 10 triliun.
Kondisi agak sama kini dialami PT Merpati Nusantara Airlines. Maskapai kebanggaan bangsa ini kini terbelit sejumlah masalah. Menurut mantan komisaris utama Merpati, Said Didu, ada tiga masalah krusial, yakni neraca, karena Merpati punya utang sangat besar. Kedua, cashflow dan, ketiga, kultur korporasi.
Terkait masalah utang. Saat ini, perusahaan menghadapi beban utang sangat tinggi sekitar Rp 6 triliun. Sejak 2005, Merpati merugi Rp 349,607 miliar, pada 2006 merugi Rp 283,432 miliar, pada 2007 merugi Rp 158,770 miliar, pada 2008 merugi Rp 641,065 miliar, dan pada 2010 merugi hingga Rp 24 miliar.
Merpati juga harus menyelesaikan pinjaman kepada sejumlah perusahaan, seperti PT Pertamina, PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, dan PT Perusahaan Pengelola Aset. Perseroan juga memiliki kewajiban dalam bentuk penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement) kepada pemerintah dan utang kepada swasta serta kepada para perusahaan penyewaan pesawat (lessor).
Di luar masalah utang, manajemen dihadapkan masalah internal; demo, mogok, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Menteri BUMN harus berkali-kali merombak manajemen, tapi persoalan Merpati tak kunjung tuntas.
Sejumlah gebrakan sudah dilakukan manajemen. Sejak menjadi direktur utama Merpati, Rudy Setyopurnomo melakukan sejumlah gebrakan, seperti: menutup 20 rute yang merugi, membuat website baru, call center 24 jam, dan city check-in di 9 kota dan kerja sama pengangkutan cargo dengan PT POS Indonesia.
Merpati 'disuntik' Rp 561 miliar dari APBN 2011. Namun, kinerja keuangan belum pulih hingga ada pemikiran untuk 'menyuntik mati' perusahaan yang terus merugi. Fakta 'suntik mati' bagi perusahaan, baik milik negara maupun swasta, marak dilakukan dalam masa krisis global ketika restrukturisasi tak memperlihatkan manfaat optimal untuk menyehatkannya. Said Didu mengatakan, eksekusi 'suntik mati' selalu didasarkan pada tiga faktor pertimbangan, yaitu faktor bankable, neraca, dan cashflow perusahaan.
'Turbulensi' kinerja yang dialami Merpati juga pernah terjadi pada Garuda, Mandala, maupun maskapai penerbangan Jepang, Japan Airlines (JAL). Bahkan, limbungnya JAL merupakan kebangkrutan terbesar di Jepang pada 2010.
JAL menanggung beban utang korporat sekitar 25,6 miliar dolar AS. JAL mengajukan perlindungan pailit kepada Pengadilan Distrik di Tokyo. Beban lain adalah pembayaran gaji dan pensiun yang terus membengkak dan rute domestik nirlaba yang secara politis wajib dipertahankan.
JAL mengajukan perlindungan pailit pada 19 Januari 2010. Maskapai ini terpaksa merombak kinerja dan mem-PHK 15.661 karyawannya (sepertiga dari total karyawan hingga Maret 2013) agar keuangannya sehat kembali dan tidak sampai dilikuidasi. JAL juga mengurangi jatah pensiun pekerja dan mengurangi rute layanan, termasuk ke Bali.
JAL juga terpaksa memensiunkan dini semua armada pesawat Boeing 747 Jumbo yang berjumlah 37 unit dan 16 unit pesawat MD-90s. Maskapai itu cuma menerbangkan pesawat berkapasitas lebih kecil. Sebelum bangkrut, JAL memiliki 279 pesawat, melayani 220 bandara di 35 negara dan wilayah, termasuk 59 bandara domestik.
Bagaimana JAL bisa bertahan dan kini menangguk pendapatan 13 miliar yen (156 juta dolar AS) dua tahun setelahnya? Jawabannya: dukungan pemerintah, aliansi, dan transformasi.
Pemerintah Jepang menyuntik dana 10 miliar dolar AS agar JAL beroperasi selama restrukturisasi di bawah perlindungan kepailitan. Para kreditur juga memutihkan utang JAL sebesar 8 miliar dolar AS.
JAL terus mengudara di bawah perlindungan kepailitan. JAL dan American Airlines bekerja sama untuk memberikan tarif murah, dengan rute dan penerbangan di seluruh Pasifik. Regulator Amerika dan Jepang memberikan persetujuan bagi keduanya untuk memperkuat aliansi pada akhir 2011, dengan menandatangani kesepakatan "open skies" untuk mendorong perjalanan udara.
Kedua perusahaan itu bekerja sama selama 15 tahun terakhir. Dengan aliansi itu, keduanya bisa menerbangkan kembali JAL dan mengembalikan bisnisnya. Kerja sama itu memperkenalkan tarif murah seperti rute Tokyo-San Francisco atau Los Angeles (PP) dari 249 ribu yen (3.000 dolar AS) turun menjadi 69 ribu yen (830 dolar AS), meski tak semua rute menawarkan tarif murah.
Modal motivasi transformasi dari Garuda Indonesia dan JAL bisa menginspirasi Merpati untuk bangkit. Sebuah perusahaan jangan pernah takut untuk bertransformasi. Sebab, transformasi merupakan perubahan besar yang harus dilakukan perusahaan untuk tetap bisa bersaing dalam era kompetisi global.
Merpati yang berdiri pada 6 September 1962 ini harus didorong agar misinya sebagai "Jembatan Udara Nusantara" tetap berlanjut. Hemat penulis, Merpati diupayakan tetap menjalankan penerbangan perintis, lintas batas, transmigrasi, borongan wisatawan, dan angkutan barang, serta usaha-usaha lainnya.
Atau meniru transformasi JAL, yakni bekerja sama dengan maskapai penerbangan asing dalam rute-rute di dalam negeri, khususnya rute luar Pulau Jawa. Transformasi lain bisa berupa menjadi maskapai kargo (distribusi logistik): mengangkut ternak sapi dari NTB, NTT ke Pulau Jawa atau Sumatra, maupun mengangkut komoditas pertanian dan perkebunan (kakao, kopi, gula, beras) antarpulau.
Apa pun skemanya, Merpati tak pantas 'disuntik mati'. Tren pertumbuhan industri penerbangan di Tanah Air diprediksi berlangsung hingga 10 tahun ke depan, bahkan hingga 2030.
Merpati harus memanfaatkan momentum ASEAN Open Sky Policy 2015 yang tinggal satu setengah tahun. Diprediksi, maskapai asing akan mencari maskapai lokal untuk bersinergi. Sebab, penduduk Indonesia dianggap sebagai pasar yang atraktif di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia tetap menjadi pasar yang menguntungkan bagi industri penerbangan. Pemicunya adalah naiknya pertumbuhan ekonomi yang melahirkan banyak jumlah kelas menengah. Ini peluang bagi maskapai domestik dan asing untuk menikmati kue di industri transportasi udara.
Kementerian Perhubungan mendata jumlah penumpang pesawat terbang terjadwal selama 2012 naik 15 persen dibandingkan tahun 2011. Total jumlah penumpang penerbangan nasional berjadwal pada 2012 mencapai 72,4 juta orang terdiri 63,6 juta penumpang domestik dan 8,8 juta penumpang internasional.
Memang persaingan bisnis penerbangan akan semakin tajam dan keras. Hanya maskapai yang kuat, sehat, dan kompetitif yang dapat bertahan sehingga dibutuhkan perubahan fundamental agar tetap eksis. Agar Merpati tetap eksis, perlu dukungan bersama: demi kebangkitan industri penerbangan nasional. Semoga. n
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.