REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irwan Kelana
Kapsion foto: Teras BRI, garda terdepan Bank BRI dalam melayani usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
(Kredit foto: Wihdan Hidayat/Republika)
Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, UMKM-lah – bukan usaha besar atau konglomerat – yang menyelamatkan perekonomian nasional yang terpuruk.
Apa jadinya kalau tidak ada kantor Bank BRI di wilayah Siluas (Kalimantan Barat) dan Sebatik (Kalimantan Timur)? Niscaya masyarakat Indonesia di kedua wilayah yang berbatasan dengan negara Malaysia itu hanya mengenal mata uang ringgit dan setiap hari bertransaksi menggunakan mata uang negara jiran tersebut.
Ya, sejak awal kelahirannya 118 tahun lalu, tepatnya tanggal 16 Desember 1895, BRI selalu mengambil peran paling depan dalam membangun perekonomian masyarakat, terutama rakyat kecil di pedesaan.
BRI telah hadir di wilayah-wilayah pedalaman yang sulit di berbagai wilayah Tanah Air. Di desa-desa yang berjarak ratusan kilometer dari kantor cabang atau kantor cabang pembantu terdekat, dan harus melewati jalan berliku-liku, berbatu dan sebagian di antaranya rusak parah sehingga butuh waktu berjam-jam untuk tiba di sana. Sesuatu yang, bila hanya berdasarkan pertimbangan bisnis semata-mata (profit oriented) belum tentu dilakukan. Kehadiran BRI ini sangat patriotik, sebab perbankan lain boleh jadi akan berpikir 1.000 kali untuk berbisnis di daerah tertinggal semacam itu.
Namun, itulah kebijakan BRI untuk hadir dan berkiprah di wilayah-wilayah yang bagi bank-bank lain mungkin dihindari. Mengapa? ''Sebab, masyarakat di wilayah-wilayah pedalaman yang sulit dijangkau itu pun membutuhkan kehadiran bank untuk memutar roda perekonomian mereka. Karena itulah, BRI tak ragu-ragu untuk membuka kantor pelayanan di sana, dan menerjunkan sumber daya manusia (SDM)-nya di wilayah-wilayah terpencil dan sulit dijangkau sekalipun,'' ungkap Direktur Utama BRI, Sofyan Basir, beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, BRI juga hadir di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga, misalnya Entikong (Kalimantan Barat) berbatasan dengan Malaysia, Sebatik (Kalimantan Timur) dengan Malaysia, Siluas (Kalimantan Barat) dengan Malaysia, Merauke (Papua) dengan Papua Nugini, dan Atambua (Nusa Tenggara Timur) dengan Timor Leste. ''Di kawasan-kawasan tersebut BRI hadir untuk menggerakkan perekonomian masyarakat setempat, sekaligus turut menjaga kedaulatan rupiah,'' tutur Sofyan.
Menjaga kedaulatan rupiah merupakan salah satu peran strategis dan heroik yang telah dilakukan oleh BRI. Bank pelat merah itu juga dikenal sebagai bank yang sangat memperhatikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kehadiran BRI Unit hingga ke desa-desa, dan kini makin lengkap dengan adanya Unit Teras BRI dan Teras BRI Keliling yang menyasar berbagai pasar tradisional, pasar basah dan daerah pedesaan, membuat keberadaan BRI makin dirasakan denyutnya oleh para pengusaha UMKM.
Kontribusi unit Teras BRI dan Teras BRI Keliling cukup signifikan dalam penyaluran kredit mikro perseroan. Dari sebanyak 2.356 unit Teras BRI dan Teras BRI Keliling, BRI mencatat kontribusinya terhadap kredit mikro sebesar Rp 8,3 triliun dengan nilai simpanan Rp 2,8 triliun per akhir Juni 2013. Jumlah itu meningkat dua kali lipat dibandingkan periode triwulan kedua 2012, yakni menghasilkan Rp 4,2 triliun dari sisi pinjaman, dan Rp 1,6 triliun untuk simpanan dari 1.867 buah Teras BRI dan Teras BRI Keliling.
Masih terkait dengan upaya memajukan UMKM, BRI merupakan bank penyalur KUR terbesar. Hingga Juli 2013, jumlah KUR yang disalurkan BRI mencapai Rp 75,98 triliun atau 61,64 persen dari total KUR nasional. “KUR tersebut sudah disalurkan kepada 8,4 juta nasabah atau 92,37 persen dari total nasabah KUR nasional,” kata Sekretaris Perusahaan BRI Muhammad Ali.
Direktur Utama BRI, Sofyan Basir mengatakan, BRI merupakan pengelola debitur KUR terbanyak. “BRI mengelola 7,62 juta debitur atau 92,33 persen dari total debitur nasional,” ungkap Sofyan.
Kekuatan UMKM
Berbicara UMKM memang sangat strategis. Seperti diketahui, UMKM merupakan penopang perekonomian nasional. Hal itu terbukti ketika krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998, UMKM-lah – bukan usaha besar atau konglomerat – yang menyelamatkan perekonomian nasional yang terpuruk.
Menkop dan UKM Syarief Hasan mengatakan jumlah UMKM di Indonesia saat ini mencapai 56,5 juta unit. “Hampir 90 persen ekonomi di Indonesia dikontribusikan oleh UMKM. Tak heran UKM harus terus didorong untuk semakin berkembang,” kata Syarief Hasan saat memberikan sambutan APEC SMEE Summit 2013 di Jimbaran, Bali, Sabtu (5/10)
Jumlah UMKM yang besar ini memang harus terus didorong agar terus meningkat kemampuannya baik dari segi permodalan, teknologi maupun akses pasar. BRI mengambil peran penting dalam hal ini, antara lain dalam hal permodalan. Menaikkan kelas dari usaha mikro jadi kecil, kemudian menengah. Juga teknologi, memberikan bantuan dengan cara menghubungkannya dengan pihak-pihak yang memiliki kemampuan teknologi yang mereka butuhkan.
Terkait akses pasar, BRI membukakan pintu bagi para UMKM, antara lain melalui berbagai pameran di dalam dan luar negeri. Juga menghubungkan para UMKM dengan sesama UMKM penerima pembiayaan mikro dan KUR maupun sentra-sentra pemasaran di berbagai wilayah. Bahkan ada UMKM binaan BRI yang para pegawainya merupakan orang-orang cacat, dan produknya diekspor.
ASEAN Economic Community
Mengapa para pelaku UMKM harus terus dikembangkan kemampuannya, baik dalam hal permodalan, teknologi maupun akses pasar? Hal itu bukan hanya untuk membidik pasar dalam negeri, tapi juga manca negara, terutama ASEAN. Dalam waktu tak sampai dua tahun lagi, produk para pengusaha UMKM itu tidak hanya bersaing produk sejenis dari para pelaku usaha dalam negeri, tetapi juga dengan produk-produk dari sembilan negara anggota ASEAN lainnya. Hal itu akan terjadi ketika ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diberlakukan tahun 2015.
Saat AEC berlaku, maka pergerakan barang, modal, jasa, investasi dan orang yang telah disepakati akan bebas keluar masuk di antara negara anggota ASEAN, alias tanpa hambatan baik tarif maupun nontarif.
Ini tantangan sekaligus peluang. Peluang, karena produk-produk kita akan mendapat pasar di kawasan ASEAN. Populasi ASEAN pada 2012 mencapai 617,68 juta jiwa dengan pendapatan domestik bruto 2,1 triliun dolar AS. Jumlah itu menunjukkan potensi besar ASEAN untuk digarap oleh investor. Namun juga menjadi tantangan, karena jika kita tidak siap maka justru produk dari negara ASEAN lainnya yang akan menyerbu Indonesia.
Dengan kta lain, maka arus lalu lintas perdagangan dan jasa di antara sesama negara ASEAN terbuka sepenuhnya. Kita tidak bisa menolak produk-produk dan jasa dari negara-negara lain di ASEAN yang akan masuk ke Indonesia. Namun sebaliknya, produk-produk dan jasa Indonesia juga bisa masuk ke negara-negara lain di ASEAN selama bisa bersaing khususnya dari segi harga dan mutu.
Mengenai persiapan di dalam negeri, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Imam Pambagyo pernah mengatakan antara lain memperkuat daya saing, mengamankan pasar domestik, dan mendorong ekspor.
Di tingkat nasional, kata Imam, upaya-upaya untuk mempersiapkan Indonesia memasuki era AEC, dikoordinasikan di bawah Kantor Menko Perekonomian yang juga mewakili Indonesia di ASEAN Economic Community Council dan membawahi semua kementerian sektor di bidang ekonomi.
Menurut Imam, kontribusi ASEAN sebagai pasar tujuan ekspor Indonesia mempunyai peran yang cukup besar terhadap ekspor nonmigas Indonesia, yaitu tahun 2012 berkontribusi sebesar 20,4 persen terhadap total ekspor nonmigas Indonesia (31,21 miliar dolar AS), meningkat 19,88 persen dari tahun sebelumnya.
"ASEAN merupakan sumber investasi yang penting bagi Indonesia," kata Imam. Pemerintah tentu harus pula membantu dan mempersiapkan agar masyarakat Indonesia siap dalam menghadapi AEC.
Untuk itu Kementerian Perdagangan saat ini mempersiapkan produksi, daya saing dan ekonomi yang merata di seluruh kawasan menyongsong AEC. "Kementerian telah menyiapkan kebijakan penting terkait pasar tunggal ASEAN," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan saat menjadi pembicara dalam bincang-bincang menyongsong ASEAN Economic Community 2015 beberapa waktu lalu. Kebijakan yang dipersiapkan seperti terkait pasar tunggal dan basis produksi terutama untuk produksi kategori ekspor.
Gita juga menekankan pentingnya masyarakat Indonesia dalam menyiapkan daya saing secara bersama-sama agar peluang AEC dapat dioptimalkan. "AEC harus dapat menjadi peluang Indonesia untuk memanfaatkan pasar ASEAN sekaligus sebagai basis produksi dan investasi," katanya. Peluang itu, kata Gita, terbuka luas bagi pengembangan industri di Indonesia apalagi Indonesia merupakan negara produsen komoditas potensial dunia.
Gita mengatakan setiap pemangku kepentingan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik serta siap menghadapi tantangan yang muncul apabila Indonesia ingin berhasil dalam memanfaatkan peluang yang ada. "Seluruh pemangku kepentingan di tingkat elit politik, pemerintah, dunia usaha serta kalangan pendidikan harus bersatu padu menyebarkan informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat menghadapi AEC 2015," papar Gita Wirjawan.
Sejumlah pihak menilai Indonesia masih kurang serius mempersiapkan diri menghadapi AEC. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah baru sekadar memperkenalkan pengertian AEC. “Pemerintah hanya sosialisasi tentang apa itu AEC,” ujar Direktur Eksekutif lembaga think tank, Core Indonesia, Hendri Saparini di Jakarta, Senin (28/10).
Hal berbeda dilakukan oleh Pemerintah Thailand. Sejak 2012, kata Hendri, Pemerintah Thailand telah membuat cetak biru kebijakan dalam menghadapi pasar bebas ASEAN. Selain memperkenalkan AEC, Pemerintah Thailand juga gencar melakukan sosialisasi kebijakan dan strategi yang dipakai untuk menghadapi 2015.
Thailand menetapkan AEC sebagai prioritas, sehingga pemerintahnya melalui National Economic and Social Development Council membentuk cetak biru strategi yang melibatkan pengusaha, institusi pemerintah, dan ahli dari universitas.
Hendri menuturkan, jika melihat potensi, Indonesia merupakan raksasa ASEAN. Baik dari jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, maupun sumber daya alam, Indonesia tidak terkalahkan. Sayangnya, potensi besar ini masih kurang dilihat sebagai sesuatu yang harus diprioritaskan.
Berdasarkan survei mendalam yang dilakukan Core Indonesia, tampak bahwa industri dalam negeri belum siap menghadapi AEC. Ekonom Core Indonesia M Faisal mengatakan, industri kecil masih kurang memahami bagaimana menakutkannya AEC.
Core menilai, ada empat isu yang harus diprioritaskan pemerintah menjelang pasar bebas ASEAN. Pertama, pemerintah perlu melakukan strategi industri, perdagangan, dan investasi. Implementasi AEC berpotensi menjadikan Indonesia sekadar pemasok energi dan bahan baku bagi industri kawasan ASEAN. “Manfaat yang diambil dari ekspor ini sangat kecil, sehingga membuat defisit neraca perdagangan membesar,” kata Faisal.
Kedua, AEC juga akan memperlebar defisit perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. Indonesia perlu mengimplementasikan rencana pembangunan untuk mendukung industri, seperti infrastruktur dan transportasi.
Ketiga, AEC memungkinkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Tenaga kerja Indonesia cukup sulit mengambil manfaat dari isu ini karena sebagian besar tenaga kerja Indonesia hanya lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia 2012, 67 persen pekerja Indonesia berpendidikan SMP. Hal ini jauh berbeda dengan Malaysia yang pekerjanya rata-rata berpendidikan tinggi.
Keempat, pemerintah perlu melakukan pilah-pilah investasi. Penanaman modal asing (PMA) selama ini dinilai tidak banyak membantu struktur perekonomian Indonesia. Justru, PMA meningkatkan ketergantungan negara terhadap bahan impor. “Ke depan, pemerintah harus membuat kebijakan dengan mengembangkan investasi untuk industri hulu,” tegas Faisal.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang UKM dan Koperasi Erwin Aksa mengemukakan, menyambut AEC 2015, para pengusaha UMKM Indonesia dituntut harus berdaya saing tinggi. “Jangan sampai pasar UMKM kita ini pemiliknya malah ada di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam pada saat AEC mulai berlaku,” tegas Erwin Aksa.
Dikatakannya, belajar dari kasus perdagangan bebas dengan China (Asean-China Free Trade Agreement/ACFTA), Indonesia belum cukup siap, sehingga kerap dunia usaha mesti diinjeksi berbagai insentif dari pemerintah. Padahal, persiapan Indonesia menghadapi perdagangan bebas dengan China hingga enam tahun. “Namun waktu yang cukup panjang itu tidak sepenuhnya dioptimalkan pemerintah dan dunia usaha,” ujar Erwin Aksa mengingatkan.
Masih ada waktu lebih satu tahun. Waktu yang sangat pendek. Tapi apa pun, waktu tersebut masih ada. Semua pihak hendaknya bekerja keras menyiapkan UMKM agar siap menghadapi AEC.
Bahu-membahu, antara lain meningkatkan mutu produk. Sertifikasi agar bisa memenuhi persyaratan pasar ekspor. Juga meningkatkan akses pasar. Antara lain, melalui edukasi dan pameran di dalam dan luar negeri. Selain itu, menghubungkan jejaring yang ada, di antara sesama dunia usaha, Kadin dan pemerintah. Kolaborasi di antara mereka amat diperlukan.
Tidak kalah pentingnya adalah membukakan akses permodalan bagi UMKM. Sebab, pada dasarnya banyak UMKM yang sebetulnya feasible (layak secara usaha) namun tidak bankable (memenuhi persyaratan bank untuk mendapatkan kredit) hanya karena faktor pembukuan, misalnya. Atau, ketiadaan jaminan (borg). BRI, sebagai bank yang sejak awal selalu “mengawal” UMKM, sudah barang tentu harus mengambil peran yang lebih besar dalam hal ini. n
Fakta Angka
2.356
Jumlah Unit Teras BRI dan Teras BRI Keliling per Juni 2013.