REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) berencana untuk mengkaji ulang kompetisi penarikan dana oleh perbankan dari masyarakat. Penarikan dana pihak ketiga (DPK) akan diatur berdasarkan geografi dan wilayah. “Apakah bisa diatur dengan level playing field dengan total size bank? Ini sedang didiskusikan,” ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah dalam Simposium Internasional mengenai Efisiensi Kantor Cabang Bank BUMN di Jakarta, Kamis (31/10).
Ia menegaskan, BI sedang berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai pembatasan penarikan DPK berdasarkan wilayah tersebut. Hingga kini, BI dan OJK belum dapat menarik kesimpulan.
Menurut Halim, pendapatan bank saat ini didominasi oleh bunga kredit. Ia mendorong agar bank memiliki pendapatan yang lebih besar dari fee based income karena cenderung lebih stabil daripada bunga kredit. “Oleh karena itu, DPK didominasi dana relatif mahal. Persaingan dana menggunakan suku bunga tinggi atau hadiah. Biaya dana akan mahal dan akan berpengaruh ke SBDK (suku bunga dasar kredit --Red),” ujar Halim.
Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) pun relatif tinggi. Per Agustus 2013, BOPO perbankan nasional tercatat sebesar 74,06 persen. Menurut Halim, hal itu kemungkinan besar disebabkan kondisi perbankan Indonesia yang belum mencapai economic of scale.
Ia melanjutkan, BI melakukan penataan ulang untuk ekspansi bank karena di Pulau Jawa ekspansi bank sudah cukup ketat serta kompetisinya tinggi. Padahal, pasar luar Pulau Jawa relatif bagus, tetapi bank membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi untuk berekspansi di luar Pulau Jawa. “Makanya, bank didorong buka cabang di luar Jawa. Misal, buka cabang di Jakarta nambah Rp 10 miliar. Di luar Jawa mungkin cuma Rp 2 miliar,” kata Halim.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo mengatakan, perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus meningkatkan efisiensi agar dapat bersaing dengan bank swasta di Indonesia. Alasannya, persaingan bisnis perbankan semakin ketat dalam meningkatkan laba dan pendapatan operasional di saat situasi ekonomi yang sedang melambat.
Hadi melanjutkan, faktor utama bagi bank BUMN untuk bertahan adalah dengan lebih efisien. “Penilaian kinerja suatu bank adalah salah satu cara untuk melihat efisiensi,” ujarnya. Penilaian kinerja, kata Hadi, berguna bagi manajemen bank, pembuat kebijakan, investor, dan auditor.
Bagi manajemen bank, penilaian kinerja tak hanya membantu pimpinan bank, tetapi juga memahami efektivitas. Bagi pembuat kebijakan, penilaian kinerja membantu membangun lingkungan yang sehat pada dunia perbankan serta dalam merumuskan kebijakan baru. Sedangkan bagi investor, penilaian kinerja berfungsi untuk mengetahui seberapa baik kinerja bank sebelum mereka memutuskan untuk berinvestasi. Bagi auditor, hal tersebut memungkinkan auditor memberikan rekomendasi kepada pimpinan bank mengenai keputusan finansial yang lebih baik.
Anggota BPK Bahrullah Akbar menambahkan, untuk saat ini, aspek efisiensi perbankan masih dalam taraf baik dan dapat ditoleransi. “Tapi, ini jadi tantangan bagi direksi untuk meningkatkan efisiensi,” ujarnya. Peningkatan efisiensi akan mendorong bank BUMN untuk menjadi bagian dari lokomotif pembangunan di Tanah Air. Setiap jengkal efisiensi dinilai akan membawa dampak terhadap pertumbuhan perekonomian.
Saat ini, terdapat 120 bank di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya terdapat empat bank BUMN, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN). Meskipun jumlah bank BUMN hanya empat, kontribusinya signifikan. Pada 2012 bank BUMN memiliki kontribusi dividen sebesar Rp 7,5 triliun. n satya festiani ed: eh ismail
Info Grafis
Rp 7,5 Triliun
Kontribusi dividen empat bank BUMN pada 2012.
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.