REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera melakukan perbaikan terhadap 10,4 juta pemilih bermasalah pascapenetapan daftar pemilih tetap (DPT) pada Senin (4/11). Jika tidak, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengkhawatirkan potensi kecurangan dan penyalahgunaan terhadap pemilih yang belum memiliki nomor induk kependudukan (NIK) tinggi.
Komisioner Bawaslu Nelson Simanjuntak mengatakan, 10,4 juta pemilih bermasalah itu berpotensi untuk disalahgunakan. “Harus diakui ada potensi kecurangan karena keinginan untuk memenangkan pemilu sangat besar dari semua peserta pemilu,” kata dia, Selasa (5/11).
Nelson menuturkan, perbaikan merupakan syarat ketika Bawaslu menyepakati penetapan 186.612.255 pemilih dalam DPT. Bawaslu memercayai KPU bahwa 10,4 juta pemilih memang warga negara Indonesia, tapi belum memiliki NIK. Karena itu, KPU harus menjelaskan bahwa 10,4 juta pemilih itu sudah faktual. Dengan sisa waktu satu bulan untuk melengkapi identitas pemilih tersebut, KPU tidak bisa hanya bergantung pada Sistem Informasi Daftar Pemilih (Sidalih).
KPU, menurut Nelson, harus mengedepankan pengecekan di lapangan dan memaksimalkan jajarannya. Pengecekan ulang seharusnya tidak sulit dilakukan mengingat data pemilih bermasalah telah terpetakan, yaitu di lembaga pemasyarakatan, lingkungan pesantren, dan daerah perbatasan.
Data itu bahkan sudah menyebutkan nama dan alamat. “Tidak terpusat, jadi untuk mengeceknya ke lapangan tidak akan sulit. Tinggal bagaimana KPU pastikan perangkatnya benar-benar bekerja dan membangun kepercayaan terhadap pengawas,” ujar Nelson. Menurut dia, KPU juga harus menyesuaikan dengan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) dari Kementerian Dalam Negeri untuk pemberian NIK. n ira sasmita/antara ed: ratna puspita
Informasi lengkap berita di atas serta berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.