REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menyatakan dukungan terhadap usulan Majelis Umum PBB terkait aktivitas penyadapan. Majelis Umum PBB ingin mengadopsi draf resolusi untuk mengakhiri pengawasan digital (penyadapan) secara berlebihan.
Dukungan ini tak lepas dari kemungkinan Indonesia menjadi korban penyadapan Australia dan Amerika Serikat (AS). Dua negara, Brasil dan Jerman, telah menyampaikan usulan itu pada pertemuan tahunan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, Jumat (1/11).
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Senin (4/11), mengatakan, Indonesia mendukung draf resolusi dengan menjadi co-sponsor bagi draf resolusi tersebut. Indonesia juga akan mengkaji ulang pertukaran informasi dengan negara sahabat. Menurut Marty, Indonesia telah menjalin pertukaran informasi dengan dua negara, Australia dan AS.
Dia menyayangkan tindakan dua negara tersebut yang mendapatkan informasi melalui jalur tak resmi. "Enough is enough (cukup sudah),'' ujar Marty dalam konferensi pers di Kemenlu, Senin (4/11).
Draf itu akan mendorong 193 negara anggota PBB memperhatikan pelanggaran hak asasi manusia serta pelanggaran yang timbul akibat pengawasan komunikasi. Sidang Umum PBB berencana melakukan pemungutan suara apakah menyetujui atau tidak resolusi ini pada akhir November.
Pada Selasa (29/10), surat kabar Australia Sydney Morning Herald melansir Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta diduga menjadi satu dari 90 pos yang memiliki fasilitas penyadapan intelijen AS. Marty sudah meminta Kedubes AS menjelaskan mengenai penyadapan ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Marty mengklarifikasi kabar penyadapan pihak-pihak asing di Indonesia. n ichsan emrald alamsyah reuters ed: m ikhsan shiddieqy
Informasi lengkap berita di atas serta berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.