REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA -- Tuding-menuding seputar kegiatan mata-mata masih terus bergulir. Tak hanya badan intelijen AS, Australia, dan Eropa, aktivitas memata-matai petinggi negara asing juga dilakukan “raksasa” Amerika Latin, Brasil. Adalah surat kabar Brasil, Folha de Sao Paulo, yang pertama kali melaporkan seputar aksi “kotor” Negeri Samba, Senin (4/11). Menurut laporan itu, badan intelijen Brasil, Abin, telah memata-matai diplomat AS, Iran, dan Rusia pada 2003-2004. Abin diam-diam menguntit diplomat tiga negara itu dan memotret mereka.
Sebelum ini, Brasil masuk dalam barisan negara-negara yang sakit hati karena menjadi korban penyadapan Badan Keamanan Nasional AS (NSA). Bahkan, saking jengkelnya, Presiden Brasil Dilma Rousseff membatalkan rencana kunjungannya ke AS. Saat berpidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, September lalu, Rousseff pun dengan keras mengecam operasi intelijen AS.
Terbongkarnya aksi spionase ini tentu akan menggiring Brasil dalam posisi sulit. Sejauh ini, Brasil tak menampik laporan Folha de Sao Paulo. Meski demikian, melalui Menteri Kehakiman Jose Eduardo Cardoso, Brasil berusaha membela diri dengan mengatakan, apa yang dilakukan Abin jauh berbeda dengan yang dilakukan NSA. “Situasinya benar-benar berbeda. Tak ada kemunafikan di sini,” ujar Cardoso.
NSA, menurut dia, berusaha menguping atau menyadap berbagai hal yang sifatnya rahasia. “Seperti menyadap data, pembicaraan telepon. Menyadap itu merupakan pelanggaran dan penghinaan terhadap kedaulatan Brasil,” ujar Cardoso, seperti dikutip CNN, Rabu (6/11).
Sementara, yang dilakukan Brasil, lanjut dia, merupakan kegiatan kontraintelijen yang diizinkan hukum. Kegiatan itu bertujuan untuk memverifikasi apakah negara lain turut menyadap Pemerintah Brasil.
Salah satu diplomat yang dimata-matai Brasil adalah Fernando Sampaio. Kepada the New York Times, pria yang bekerja sebagai Konsul Kehormatan Rusia di selatan kota Porto Alegre itu mengaku terkejut menjadi target spionase Negeri Samba. “Badan intelijen Brasil? Wow, ini merupakan kejutan,” ujar dia. Meski terkejut, ia sudah lama menduga dirinya menjadi target aksi mata-mata. “Sepertinya, telepon saya disadap. Bahkan, masih berlangsung sampai saat ini.”
Terungkapnya aksi spionase Brasil membuat AS bisa bernapas sedikit lega. “Seperti yang pernah kami katakan, semua negara memang melakukan pengumpulan informasi melalui intelijen asing,” kata perwakilan Kementerian Luar Negeri AS.
Jerman paksa Inggris
Terkait operasi intelijen, Kementerian Luar Negeri Jerman meminta Inggris menanggapi laporan di surat kabar the Independent edisi Selasa (5/11). Ditulis berdasarkan dokumen NSA, foto udara serta informasi seputar kegiatan spionase di Jerman, harian ini menulis, Inggris kemungkinan menempatkan peralatan operasi intelijen di atas gedung kedubesnya di Jerman.
Menyusul laporan itu, Menlu Jerman Guido Westerwelle telah memanggil duta besar Inggris untuk meminta penjelasan. “Ini bukan tuduhan. Kami hanya meminta klarifikasi,” begitu pernyataan Kementerian Luar Negeri Jerman, seperti dikutip the Guardian, Rabu (6/11).
Sejauh ini, Kedubes Inggris di Jerman menolak mengomentari artikel di the Independent. Hanya saja, Kementerian Luar Negeri Inggris telah menugaskan dubes mereka, Simon McDonald datang ke kantor Menlu Jerman. Sebelumnya, Jerman memanggil dubes AS. Panggilan itu terkait tuduhan bahwa intelijen AS telah menyadap ponsel Kanselir Angela Merkel.
Inggris, seperti halnya AS, adalah satu dari lima negara Five Eyes. Kedua negara itu menandatangani pernyataan bahwa mereka tak akan memata-matai sesama anggota. Hal ini membuat Jerman semakin merasa terkucil dari Lima Mata yang beranggotakan AS, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Meski demikian, Jerman tetap menegaskan bahwa memata-matai melalui lokasi diplomatik merupakan hal yang sangat dilarang. n ichsan emrald alamsyah/ap/reuters ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.