Selasa 10 Dec 2013 08:47 WIB
Hari Anti Korupsi Internasional

SBY: Cermati Korupsi Pajak

 Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Anti Korupsi peringati Hari Anti Korupsi seDunia di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (8/12).  (Republika/Prayogi)
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Anti Korupsi peringati Hari Anti Korupsi seDunia di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (8/12). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyinggung sejumlah titik-titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia. Dari titik-titik tersebut, SBY meminta penegak hukum mengawasi lekat-lekat potensi korupsi dalam sektor pajak.

“Untung si pembayar pajak, untung pegawai pajaknya, negara rugi," kata SBY mengomentari korupsi di sektor pajak dalam sambutannya pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) di Istana Negara, Senin (9/12). Ia kemudian mendesak penegak hukum untuk mengawasi lebih saksama potensi korupsi pada sektor tersebut.

Presiden menilai, di sektor tersebutlah tindak pidana korupsi benar-benar merugikan rakyat. Sebab, hasil dari pembayaran pajak signifikan bagi penerimaan negara dan pembelanjaan untuk pembangunan.

Tindak pidana korupsi di sektor pajak termasuk salah satu yang paling kerap diungkap penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Modus korupsi di sektor tersebut biasanya pihak swasta menyuap pegawai pajak untuk meringankan pajak perusahaan atau menghindarkan dari denda keterlambatan pembayaran pajak.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan, selama 2007 hingga 2013, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan sebanyak 95 transaksi mencurigakan yang melibatkan 112 pegawai pajak. Dari jumlah tersebut, 66 laporan yang melibatkan 83 pegawai telah direkomendasikan untuk diproses hukum.

Dari internal Kemenkeu, selama tujuh tahun, 912 pengaduan terkait pelanggaran pegawai pajak dan Kemenkeu diterima. Selain itu, PPATK juga sempat melaporkan setidaknya 150 rekening gendut yang dimiliki pegawai pajak.

Selain sektor pajak, SBY juga menyebut tiga titik rawan tindak pidana korupsi lainnya. “Ada empat hal yang saya titip betul kepada KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung untuk dilihat secara tajam dan ditangani secara serius karena itu sumber kerugian negara,” katanya.

Di antaranya, kemungkinan terjadinya penyimpangan korupsi terhadap pengadaan barang dan jasa. Sering kali terjadi mark up hingga pengeluaran fiktif. Celakanya, jumlahnya terbilang besar dan menyebar ke eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Kemudian, penyimpangan dalam pengeluaran izin, baik di pusat maupun daerah. “Ini konsekuensi dari otonomi daerah, adanya suap, benturan kepentingan, penyimpangan yang sering terjadi menjelang pilkada,” katanya.

Selain itu, titik rawan korupsi adalah penyusunan dan penggunaan APBN dan APBD. Menurut SBY, banyak kasus korupsi berangkat dari kolusi dan penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah dan oknum legislatif.

SBY juga mengingatkan pemberantasan korupsi jangan diartikan secara dangkal. Menurutnya, memberantas korupsi bukan sekadar membawa koruptor ke meja pengadilan. “Memberantas korupsi harus bisa meniadakan sumber dan peluang terjadinya korupsi,” ujar SBY.

Ia mengatakan, pencegahan dan pemberantasan korupsi bukan tugas dan kewajiban sekali jadi. Pekerjaan tersebut ia katakan sebagai pekerjaan yang tak boleh berhenti.

Kerja berat

Ketua KPK Abraham Samad menegaskan pemberantasan korupsi adalah pekerjaan yang masih panjang. Ia mencontohkan, sejauh ini KPK telah menerima lebih dari  70 ribu laporan pengaduan masyarakat yang dikirim melalui e-mail, pos, telepon, maupun disampaikan secara langsung.

Sebab itu, menurut Samad, tak mungkin pemberantasan korupsi diselesaikan oleh KPK semata. Mesti ada sinergi dengan penegak hukum lainnya serta didorong kepedulian masyarakat terkait bahaya korupsi. "Kita ingin memastikan agar masyarakat tidak permisif, tidak skeptis, dan tidak apatis terhadap kejahatan korupsi," kata Samad.

Di depan SBY, Samad juga mengatakan, KPK tidak bisa dipengaruhi dan terpengaruh oleh siapa pun dalam mengusut kasus korupsi. Karena itu, KPK tidak bisa disuruh-suruh, apalagi dipaksa untuk menangkap seseorang.

Ia juga menekankan, setiap orang yang berurusan dengan KPK dipandang sama dan tidak berelevansi dengan jabatan ataupun kekerabatan. “Kita semua sama kedudukannya di mata hukum. Tidak peduli keluarganya siapa,” kata Samad. n esthi maharani ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement