REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam jangka waktu empat tahun ke depan, Indonesia memiliki kesempatan memaksimalkan potensi sektor pertanian. Hasil kesepakatan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang terpatri dalam Paket Bali memberikan kelonggaran bagi negara berkembang menyuntik subsidi pertanian lebih dari 10 persen.
“Tapi, saat ini subsidi pertanian di Indonesia sebetulnya masih kurang dari 10 persen,” ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Ahmad Suryana di Jakarta, Selasa (10/12).
Menurut Suryana, waktu yang pendek ini bisa dimanfaatkan dengan menggenjot cadangan pangan nasional. Misalnya, untuk komoditas beras, Bulog kini hanya memiliki cadangan dalam gudang sekitar lima hingga enam persen dari kebutuhan nasional. Padahal, cadangan pangan nasional masuk ketegori posisi aman apabila mencapai 10 persen.
Penambahan cadangan pangan dibutuhkan agar ketahanan pangan tidak mudah terguncang kalau terjadi gejolak, baik dari sisi ketersediaan maupun harga. Selain itu, masih diperlukan pula sosialisasi mengenai manfaat penerapan sistem resi gudang. “Petani banyak yang melihat bahwa resi gudang hanya menambah ongkos saja. Mereka juga belum terbiasa dengan sistem perbankan maka masih perlu banyak sosialisasi,” katanya.
Secara umum, Suryana berpandangan, kesepakatan yang dicapai dalam KTM ke-9 WTO sudah sejalan dengan Undang-Undang Pangan milik Indonesia. Paket Bali mengakomodasi regulasi pangan berkaitan dengan cadangan pangan nasional dan produksi domestik, pengaturan susbsidi pertanian, penetapan harga, serta pemberdayaan petani.
Namun, kata Surtana, gerakan negara lain dalam hal subsidi ekspor tetap harus menjadi perhatian. Indonesia harus waspada agar jangan sampai subsidi ekspor yang diberikan membuat harga pangan impor menjadi lebih murah dan akhirnya mengganggu ketahanan pangan nasional.
Di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Gatot S Irianto menyatakan, tantangan paling besar dalam ketahanan pangan, yakni peningkatan infrastruktur, khususnya mengenai perluasan lahan pertanian. Penambahan lahan pertanian kerap terbentur dengan regulasi peruntukan lahan dan sertifikat resmi lahan negara yang mengganggur.
Badan Pertanahan Nasional (BPN), kata Gatot, sudah mendeteksi lahan-lahan mengganggur secara detail by name and by address. Namun, setelah BPN menentukan lahan itu milik negara, hampir setengahnya dibawa ke pengadilan lantaran ada yang menggugat. “Kalau sudah masuk ranah hukum seperti itu, sulit untuk kita bisa cepat-cepat melakukan perluasan lahan semisal pencetakan sawah baru,” ujarnya.
Ia melanjutkan, kuantum ketahanan pangan sebenarnya bukan terletak pada berapa luas lahan pertanian yang dimiliki Indonesia. “Aspek produktivitas lebih penting dari luasnya lahan.”
Gatot mencontohkan, saat ini ada delapan juta hektare lahan persawahan. Apabila dari lahan yang ada bisa dilakukan 2,5 kali tanam padi setahun dengan produktivitas rata-rata lima ton per hektare, produksi padi nasional sudah mencapai 100 juta ton per tahunnya.
Ketua Kelompok Komisi Pertanian Fraksi PKS Nabiel Al-Musawa mengatakan, Paket Bali merupakan bentuk liberalisasi pertanian nasional dan tidak berdampak positif pada kemandirian dan kedaulatan pangan Indonesia. Paket Bali dinilai hanya menguntungkan negara-negara industri maju.
Dalam Paket Bali, kata Nabiel, subsidi pertanian di negara berkembang meningkat dari sebelumnya 10 persen menjadi 15 persen dari nilai produksi nasional. Namun, hal itu dibatasi hanya sampai empat tahun. “Hal ini tentu bisa merugikan negara-negara yang bertopang pada sektor pertanian, seperti Indonesia,” ujar Nabiel.
Terkait poin fasilitasi perdagangan ke semua negara, hal itu dapat menyebabkan liberalisasi pertanian nasional dan hanya akan memperluas pengaruh negara-negara maju dalam mengakses pasar domestik semua anggota WTO, termasuk Indonesia. Alasannya, kebijakan tersebut hanya mempermudah barang-barang dari negara maju masuk ke negara-negara berkembang. “Produk impor akan membanjiri pasar domestik dan menyebabkan produksi dalam negeri melemah,” ujar Nabiel.
Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengatakan, hasil dari kesepakatan Paket Bali sejatinya merupakan berita buruk, khususnya bagi kaum petani di pedesaan. Namun di sisi lain, hasil tersebut memberikan peluang besar bagi korporasi dan perusahaan.
“Kalau berdiri pada kepentingan rakyat, keputusan Paket Bali itu buruk bagi pembangunan ekonomi ke depan. Tapi, kalau Presiden dan Menteri Perdagangan memang pendukung perusahaan multinasional, hasilnya memang menguntungkan,” katanya. n meiliani fauziah/antara ed: eh ismail
Informasi lengkap berita di atas serta berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.