REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) mengumumkan hasil Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2012. Skor total yang diperoleh demokrasi mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang 2012, total nilai indeks demokrasi mencapai 62,63 dari skala nilai 1 sampai 100. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 2,85 poin dari perolehan tahun 2012, yakni 65,48 poin.
Dalam capaian IDI 2012, indikator kebebasan sipil mendapatkan nilai paling tinggi. Kemudian, diikuti oleh lembaga demokrasi yang mendapatkan poin 'sedang', serta aspek hak-hak politik yang masih tergolong rendah.
Secara lebih spesifik, indeks kebebasan sipil mendapat nilai 77,94. Sementara aspek hak-hak politik memperoleh nilai 46,33; dan lembaga demokrasi mendapat skor 69,28.
Kendati indeks kebebasan sipil memperoleh nilai tertinggi dibandingkan parameter lainnya, ia lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Jumlah penurunannya setara dengan jumlah penurunan nilai keseluruhan, yaitu 2,85 poin.
Indeks demokrasi indonesia itu disusun oleh Kemenko Polhukam bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas serta didukung badan PBB untuk pembangunan (UNDP).
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto mengharapkan hasil IDI 2012 dapat menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah mesti memberikan prioritas untuk indikator yang indeksnya rendah, dan sebaliknya mempertahankan indikator yang telah mencapai indeks tinggi.
"Sebagai sebuah alat untuk mengukur perkembangan demokrasi yang khas Indonesia, IDI memang dirancang untuk sensitif terhadap naik turunnya kondisi demokrasi pada tingkat provinsi," kata Djoko melalui Sesmenko Polhukam, Langgeng Sulistiyono, dalam peluncuran laporan indeks demokrasi, Rabu (11/12).
Ia menegaskan, IDI bukanlah alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah. Karena, komponen yang membentuk indikator, variabel, dan aspek IDI tidak hanya mengukur bidang pekerjaan pemerintah, tetapi juga mengukur perilaku demokrasi di masyarakat.
Penurunan indeks tahun lalu diyakini akibat masih terdapatnya ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh unsur masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat. Artinya, kebebasan berpendapat justru menghadapi tantangan lebih besar dari unsur masyarakat, bukan oleh pemerintah ataupun aparatur negara.
Pada aspek hak-hak politik, maraknya demonstrasi dan unjuk rasa dengan kekerasan yang terjadi di berbagai belahan provinsi turut menyumbang rendahnya nilai indeks pada aspek tersebut. Sementara, pada aspek lembaga demokrasi, kurang berperannya DPRD dalam menyusun dan mengajukan perda inisiatif dan rekomendasi kepada eksekutif menyumbang capaian yang rendah dibandingkan dengan indikator lain pada aspek kelembagaan demokrasi.
Konflik horizontal
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui, memang kekerasan horizontal dan konflik-konflik komunal masih kerap terjadi di Tanah Air. Ia mengatakan bersedih atas hal tersebut.
“Bagaimana sekarang? Apakah mengandalkan penegakan hukum, pendekatannya harus dengan hard power seperti itu?” kata SBY, kemarin. Menurutnya, pendekatan lain mesti dipertimbangkan untuk meredam konflik-konflik tersebut.
Di antara solusi yang ditawarkan SBY melibatkan pemuka agama, pemuka masyarakat, dan para pemimpin di daerah. Ia menegaskan, yang diperlukan untuk menekan kekerasan horizontal tak lain kesadaran horizontal dan kesadaran vertikal agar tercipta kerukunan dan rasa persaudaraan di negara yang majemuk seperti Indonesia.
Presiden juga menekankan stabilitas politik harus dijaga. Namun, untuk menjaganya harus memerlukan penanganan yang tepat. Menurutnya, jika terlalu menjaga stabilitas politik, demokrasi yang dibangun selama ini bisa mati.
Tetapi, jika politik dibiarkan tanpa adanya aturan, dikhawatirkan justru menciptakan lautan ketidakteraturan dan ketidaktertiban. Muaranya, bisa jadi justru menjadikan Indonesia negara yang anarkis. “Dua-duanya (terlalu menjaga stabilitas politik dan membiarkan politik) bukan pilihan kita,” kata SBY.
Ia mengatakan, kondisi Indonesia di ranah politik sudah sangat berbeda. Jika dulu ada tangan kuat yang bisa memaksa situasi politik di Tanah Air, saat ini hal tersebut tidak bisa dilakukan. Sayangnya, formula yang tepat untuk menjamin stabilitas politik tetap terjaga belum ditemukan. “Mesti ada perangkat untuk membikin politik kita stabil,” katanya. n esthi maharani ed: fitriyan zamzami
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.