REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Hanura menonaktifkan Bambang Wiratmadji Soeharto dari jabatan ketua Dewan Penasehat dan ketua Dewan Pengarah Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu). Penonaktifan tersebut terkait terseretnya Bambang dalam kasus dugaan suap terhadap jaksa di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut Ketua Umum Hanura, Wiranto, partai ingin Bambang berkonsentrasi menyelesaikan persoalan hukum dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Untuk lebih mengonsentrasikan urusan Pak Bambang, maka partai mengambil kebijakan menonaktifkan Pak Bambang,” kata Ketua Umum Partai Hanura Wiranto di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (17/12).
Wiranto mengatakan, jabatan Bambang sebagai ketua Dewan Pengarah Bappilu Hanura akan ia ambil alih. Sedangkan, jabatan ketua Dewan Penasehat Hanura akan diisi oleh Jenderal TNI Purnawirawan Subagyo HS. Menurut Wiranto, jabatan Bambang W Soeharto di Partai Hanura tersebut bukan jabatan struktural, melainkan di luar struktur partai.
Bambang bukan orang sembarangan di Hanura. Wiranto mengatakan, Bambang merupakan salah satu pendiri Hanura. Namun, dia menolak apabila kasus hukum yang melibatkan Bambang berkaitan dengan urusan partai. “Tak ada kaitannya dengan Partai Hanura,” ujar Wiranto.
Ia menyatakan, memang benar bahwa Bambang adalah direktur utama PT Pantai AAN, perusahaan yang disebut-sebut dalam kasus suap terhadap jaksa. Meski begitu, kata Wiranto, kepada dirinya Bambang mengaku tidak tahu-menahu soal gratifikasi yang melibatkan perusahaannya.
Bambang juga mengatakan pada Wiranto tidak memberikan perintah kepada Lucita Ani Razak, salah satu direktur PT Pantai AAN, yang tertangkap KPK untuk memberikan gratifikasi. "Tapi, kami minta ketidakterlibatan Bambang itu dibuktikan melalui proses hukum yang berlaku," kata Wiranto.
Sebelumnya, KPK telah mengajukan pencekalan pada Bambang pergi ke luar negeri ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bambang dicekal selama enam bulan, terhitung sejak 15 Desember 2013 kemarin.
Pencekalan tersebut terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim penindakan KPK terhadap Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya, Subri, dan Lucita di sebuah hotel di Pantai Senggigi, Lombok, NTB, pada Sabtu (14/12). Dalam penangkapan itu, KPK mendapatkan uang dalam bentuk dolar AS dan rupiah dengan total sebesar Rp 213 juta dalam beberapa tas kecil.
Kasus suap ini terkait dengan pengurusan perkara tindak pidana umum dalam pemalsuan sertifikat tanah di Lombok Tengah dengan terdakwa Sugiharta alias Along di Pengadilan Negeri (PN) Praya. Along telah dituntut selama tiga tahun dalam persidangan di PN Praya pada 1 Desember 2013 lalu.
Pihak pelapor dalam kasus pemalsuan sertifikat tanah itu adalah Bambang Wiratmadji Soeharto sebagai pemilik tanah yang terletak di Desa Selong Belanak, Praya Barat, Lombok Tengah, yang memiliki sertifikat HGB Nomor 04/1993 atas nama PT Pantai Aan. Tanah yang dimiliki Bambang ini luasnya sekitar 43 ribu meter persegi atau 4 hektare.
Namun pada 2011, tanah seluas 6.100 meter persegi dari luas tanah milik Bambang telah dijual terdakwa Along kepada Prabowo Hidayat dengan harga Rp 3,5 miliar. PT Pantai Aan mengklaim telah memiliki izin dari Pemprov NTB terkait pengelolaan kawasan wisata yang menyatakan tidak boleh dimiliki perseorangan, tetapi harus dimiliki badan perusahaan perseroan terbatas (PT). Sejauh ini, Bambang belum bersedia memberikan pernyataan terkait kasus yang menyeretnya. n m akbar wijaya/bilal ramadhan ed: fitriyan zamzami
BOX:
Jaksa Subri Juga Diberhentikan
Gilang Akbar Prambadi
Nasib serupa dengan Bambang Wiratmadji Soeharto juga dialami Kajari Praya, Subri, yang tertangkap oleh KPK. Kejaksaan Agung (Kejakgung) secara resmi memberhentikan Subri dari jabatannya sebagai kajari.
Kejakgung menilai, Subri telah melanggar komitmennya sebagai penegak hukum. Atas segala pertimbangan, termasuk memberikan kesempatan kepada KPK agar leluasa membongkar kasus Subri, Kejakgung memberhentikan dia dengan sementara.
"Yang terkait (Subri) tidak melaksanakan pesan Jaksa Agung (Basrief Arief) untuk tetap menjaga integritas dan citra institusi dan keluarganya sendiri," ujar Kapuspenkum Kejakgung Untung Setia Arimuladi, Selasa (17/12). Ia mengatakan, keputusan pemberhentian Subri tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomo: KEP-193/A/JA/12/2013 tanggal 16 Desember 2013.
Untung menyatakan, memahami sorotan tajam tengah mendera Korps Adhyaksa atas penangkapan Subri. Dia mengatakan, di tengah cecaran pertanyaan soal integritas jaksa, Kejakgung telah lama membangun sistem pengawasan internal pada seluruh jaksa. Penguatan pengawasan ini, kata dia, diharapkan dapat memberikan perubahan besar di tubuh Kejakgung.
KY turun tangan
Terkait kasus dugaan suap pengurusan perkara pemalsuan tanah di Praya, KPK juga memintakan cekal terhadap sejumlah pihak di Pengadilan Negeri (PN) Praya. Di antaranya, Kepala PN Praya, Sumedi; dan dua orang bawahannya yang juga menjabat sebagai hakim pratama muda di PN Praya, yaitu Anak Agung Putra Wiratjaya dan Dewi Santini.
Sehubungan dengan pencekalan terhadap para hakim, Komisi Yudisial (KY) akan melakukan penyelidikan terhadap yang bersangkutan. "Kalau bisa kami pinjam tersangka (Subri) ke KPK, apakah juga melibatkan tiga hakim tersebut," kata Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri di Jakarta, kemarin.
Taufiq mengatakan, ketiga hakim PN Praya ini bisa diberlakukan seperti Kasus Akil Mochtar, yakni diadili secara etik tanpa mengganggu proses pidana yang ditangani KPK. Namun, Taufiq menegaskan, KY akan terlebih dahulu mengumpulkan berbagai informasi soal keterlibatan para hakim. n antara ed: fitriyan zamzami
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.