REPUBLIKA.CO.ID, KEDIRI – Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah KH Noer Muhammad Iskandar SQ menilai, berbagai kasus yang terjadi seperti penundaan jilbab polwan, penolakan obat halal, hingga penghilangan kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) merupakan fenomena pendangkalan akidah yang sistemis dialami umat Islam Indonesia.
Karenanya, menurut Noer, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi pendangkalan akidah ini adalah membentengi umat secara lebih kuat. “Penguatan umat ini dapat dilakukan berbagai cara, mulai dari pendidikan agama, menyuarakan hak umat Islam, hingga menggalang basis kekuatan politik Islam,” kata Noer sesaat sebelum melakukan pertemuan dengan para ulama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Ahad (22/12).
Kondisi ini, Noer menegaskan, tidak bisa dibiarkan karena sudah mengusik umat Islam. Ia pun meminta para tokoh umat dan pemimpin Islam agar memperhatikan masalah ini. Ia juga mendorong media-media Islam untuk memberikan kekuatan suara umat Islam dan menentang gerakan pendangkalan ini.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendi Yusuf sepakat dengan apa yang dikatakan KH Noer. Menurut dia, pihak-pihak yang berupaya menjauhkan nilai agama dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat telah melanggar norma Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Ingat, nilai utama yang dijunjung dalam Pancasila dan UUD 45 adalah nilai keagamaan, bukan sekulerisme," tegasnya. Untuk itu, ia mengingatkan kepada kelompok-kelompok yang ingin mencari peluang untuk merusak Pancasila agar menghentikan upaya tersebut. Menurut Slamet, gerakan kelompok-kelompok ini seperti yang dijalankan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka, jelas dia, menyebarkan paham-paham ideologi ke masyarakat untuk menentang praktik-praktik keagamaan yang semakin kuat di masyarakat, khususnya umat Islam. Beberapa oknum gerakan ini pun berusaha menyebarkan ideologi mereka dengan masuk ke instansi penting di pemerintahan. Slamet pun meminta pemerintah mewaspadai gerakan seperti ini.
Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali juga mengaku khawatir dengan berbagai upaya pendangkalan akidah yang terus terjadi di masyarakat. Ia mencontohkan beberapa fakta yang telah terjadi. Seperti di kota besar, banyak wanita Muslimah yang mau berjilbab, tetapi tidak bisa. Sebab, di negeri yang mayoritas Islam ini, penggunaan jilbab diatur sangat ketat. “Contoh yang mudah di pertelevisian, kepolisian, dan beberapa pramuniaga di pusat perbelanjaan,” kata dia.
Di pertelevisian, jelas Menag, pembawa acara akan diprioritaskan bagi mereka yang tidak menggunakan jilbab. Hal ini juga terjadi di kepolisian pada polisi wanita (polwan). "Polwan yang sudah dibolehkan pakai jilbab kemudian dilarang kembali. Dengan alasan, tidak seragam," ujarnya.
Begitu juga, para pramuniaga di pusat perbelanjaan. Mereka, kata Menag, sangat jarang terlihat meggunakan jilbab karena memang aturan perusahaan diuat seperti itu. "Alih-alih memakai jilbab, mereka malah disuruh pakai baju Sinterklas," keluhnya. “Kalau mereka tidak memakai, malah bisa dipecat.”
Contoh lain upaya pendangkalan akidah, menurut Suryadharma, terjadi di daerah. Pemerintah daerah (pemda) dilarang membiayai program agama di daerah, khususnya pada pendidikan agama. Paradigma yang dibangun, urusan agama itu urusan negara, sedangkan pemda tidak mengurusi masalah agama dan pendidikan agama.
Pemda yang mencoba mengurus pendidikan agama dengan menganggarkan biaya operasional untuk masjid, imam, madrasah, serta pondok pesantren malah dipidanakan. “Yang terbaru, ada upaya penolakan obat halal dan penghapusan kolom agama di KTP. Pendangkalan akidah di Indonesia sudah sangat masif,” kata Menag. n amri amrullah ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.