Jumat 03 Jan 2014 08:57 WIB
Pengawasan Peredaran Miras

SBY Terbitkan Perpres Miras Baru

 Aksi unjuk rasa yang dilakukan massa pendukung Perda Miras.
Foto: Antara/Irsan Mulyadi
Aksi unjuk rasa yang dilakukan massa pendukung Perda Miras.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani peraturan presiden (perpres) baru tentang pengendalian minuman beralkohol (mihol). Peraturan tersebut untuk mengganti keputusan presiden (keppres) sebelumnya yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Juni.

Regulasi baru tersebut dicantumkan dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani SBY pada 6 Desember 2013. Melalui peraturan itu, pemerintah kembali mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan.

“Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya,” bunyi Pasal 3 Ayat (3) Perpres 74/2013, seperti dikutip laman resmi Sekretariat Kabinet.

Dalam perpres tersebut, mihol dikelompokkan dalam tiga golongan. Pertama, mihol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan lima persen.

Kedua, mihol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari lima sampai 20 persen. Ketiga, mihol golongan C, yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20-55 persen.

Pasal 7 perpres ini menegaskan, minuman beralkohol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di sejumlah tempat. Di antaranya,  hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan. Selain itu, mihol juga bisa diperjualbelikan di toko bebas bea.

Hal yang baru dari perpres pengendalian mihol adalah pemberian kewenangan pada bupati dan wali kota di daerah-daerah, serta gubernur di DKI Jakarta untuk menentukan tempat-tempat di mana mihol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi. Syaratnya, mesti tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit.

Di luar tempat-tempat tersebut, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres juga memberikan wewenang kepada bupati/wali kota dan gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.

Munculnya Perpres 74/2013 tak lepas dari benturan antara sejumlah peraturan daerah (perda) yang melarang total peredaran mihol dan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya mengatur pembatasan. Polemik yang mencuat pada 2012 itu membuat Kemendagri mengevaluasi perda-perda miras di sejumlah daerah.

Evaluasi yang dilihat sebagai pencabutan perda tersebut menimbulkan gejolak hingga akhirnya Front Pembela Islam (FPI) menggugat Keppres 3/1997 ke MA. MA mengabulkan gugatan tersebut pada Juni tahun lalu dan membatalkan Keppres 3/1997.

Klarifikasi perda

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Restuardy Daud mengatakan, perpres yang baru juga tak serta-merta memberikan pemda kebebasan tak terbatas menerbitkan perda pelarangan minuman keras. “Perpres itu mengatur pengendalian dan pengawasan dan nantinya akan sinkronisasi dengan peraturan daerah,” kata Restuardy di kantor Kemendagri, Kamis (2/1).

Artinya, Kemendagri akan tetap mengklarifikasi perda-perda tentang miras agar tak berbenturan dengan perpres yang baru. Melalui perpres baru, pemda hanya diberi wewenang mengatur secara lebih spesifik terkait pengendalian minuman keras di daerah masing-masing.

Ia memisalkan di Bali, pemerintah setempat bisa memberi izin peredaran mihol di lokasi wisata yang banyak dikunjungi turis. Pemerintah daerah di Indonesia Timur juga bisa mengizinkan penggunaan mihol dalam ritual-ritual adat setempat.

Sementara, pemerintah-pemerintah daerah di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bisa membatasi peredaran sesuai asas keislaman. “Hanya, untuk tempat yang diberikan izin (oleh perpres), seperti hotel dan kawasan duty free, tetap boleh beredar,” ujar dia.

Ia menegaskan, Perpres 74/2013 tetap harus ditaati meskipun kepala daerah ataupun Dinas Perdagangan Perindustrian terkait mempunyai regulasi tertentu. Menurut Ardy, perpres merupakan aturan umum sedangkan perda membatasi secara khusus sesuai kondisi daerah.

Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail mengapresiasi keluarnya perpres pengendalian mihol yang baru. Kendati demikian, ia menegaskan, para kepala daerah tetap mesti berhati-hati kendati diberi kewenangan membatasi peredaran mihol.

Sebab, perpres belum memberikan penjelasan definitif tentang kewenangan pemda membuat peraturan pembatasan mihol. “Yang dimaksud boleh membuat sendiri itu apa? Harus lebih definitif,” ujar Nur Mahmudi, kemarin.

Ia menilai, untuk menghindari konflik antara perda dan perpres, ada baiknya pemerintah merancang undang-undang tersendiri untuk mengatur peredaran mihol. “Undang-undang jelas tingkatannya lebih tinggi dari PP (peraturan pemerintah) dan perpres.” 

Pemerintah pusat bisa juga melakukan revisi perundangan yang sekiranya punya kaitan dengan pengendalian mihol. Perubahan undang-undang bisa dimulai dengan alasan aspirasi dari daerah. Misalnya, DPRD-DPRD memberikan masukan pada pemerintah bahwa miras merusak generasi muda. n esthi maharani/andi m ikhbal/eh ismail ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement