Selasa 07 Jan 2014 17:10 WIB
Kisruh Harga LPG 12 Kg

Said Didu: Pertamina Bukan Monopoli Bisnis LPG

Said Didu
Foto: Republika
Said Didu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu mengatakan, PT Pertamina (Persero) tak melakukan monopoli dalam bisnis elpiji, khususnya kemasan 12 Kg. Sebab, ini adalah bisnis terbuka dan perusahaan manapun boleh ikut.

Hanya saja, karena bisnis ini sudah diprediksi akan merugi, maka tak ada satu pun perusahaan migas nasional maupun asing yang tertarik. "Jadi, tidak benar jika harga LPG 12 Kg naik (drastis) karena monopoli Pertamina. Seharusnya, negara dan konsumen harus beruntung, sebab Pertamina masih mau jual rugi dan itu sudah berlangsung sejak lima tahun lalu," katanya kepada Republika, di Jakarta, Senin (6/1).

Produksi LPG di Indonesia hanya dilakukan Pertamina, sebab tidak ada badan usaha lain nasional atau asing yang terjun di bisnis ini. Pasalnya, harga masih murah atau kalau dijual akan merugi.

"Mereka tidak masuk, karena ini bisnis rugi. Jadi, apanya yang dimonopoli Pertamina?," tuturnya. Dia menekankan tidak ada larangan bagi pelaku usaha lain untuk masuk dalam bisnis LPG 12 Kg.

Said  menyesalkan komentar politisi yang mencari muka saat kisruh harga LPG. Semula politisi ini ikut mendukung rencana kenaikan LPG 12 Kg. Tapi, ketika rakyat menolak, politisi ini justru menuding Pertamina melakukan monopoli harga.

   

"Padahal, mereka tahu LPG 12 itu tidak disubsidi. Hanya LPG kemasan 3 kg yang disubsidi. Jadi, kenaikan LPG 12 Kg tidak perlu lapor pemerintah dan DPR. Hanya kenaikan LPG 3 kg yang harus dilaporkan ke pemerintah dan DPR," katanya.

Sebagai mantan sesmen BUMN, Said masih ingat Pertamina mengajukan kenaikan harga LPG kemasan 12 Kg pada 2008 atau saat dirinya masih menjabat. Tapi, saat itu, pemerintah enggan menyetujui. Apalagi, saat itu terjadi krisis keuangan.

Selama lima tahun terakhir terjadi dua kali krisis keuangan. Untuk krisis terakhir, kurs nilai tukar naik 40 persen dan harga gas (yang masih impor) sudah naik 200 persen. Jika diakumulasi, maka terjadi kenaikan 240 persen.

Sehingga, ujar dia, kenaikan LPG 12 Kg sekitar 70 persen usulan Pertamina tetap tak menutup kerugian.

Bahan baku produksi elpiji sekitar 60-70 persen adalah impor, sehingga perubahan nilai tukar rupiah sangat berpengaruh pada harga pokok. Impor gas LPG masih berlangsung juga dikarenakan adanya keterikatan kontrak dengan asing serta komposisi gas domestik tidak cocok.

Karena tak direspon atau dilarang pemerintah saat itu, jelas Said, kenaikan harga LPG 12 Kg tertahan selama lima tahun. Pemerintah beralasan, LPG belum pantas naik karena pemerintah akan menaikkan harga BBM dan TDL.

"Saat itu, Pertamina minta naik, tapi dilarang pemerintah dengan alasan dekat Pemilu 2009. Demikian pula, usulan kenaikan selalu ditolak dan akhirnya kerugian makin besar," katanya.

Sehingga, kerugian signifikan Pertamina di bisnis LPG dimulai 2008, saat kurs melemah 25 persen. Hal itu diperparah dengan kenaikan komponen biaya gas sekitar 250-300 persen sejak lima tahun lalu.

Selain itu, terang Said Didu, kerugian Pertamina dalam bisnis LPG 12 kg karena dinikmati kalangan mampu atau kaya. Dia mencontohkan perusahaan asing, restoran, cafe, hotel mewah menikmati subsidi Pertamina dengan membeli LPG 12 Kg. "Ini tidak adil bagi rakyat. Apakah ini juga dipikirkan politisi," katanya. n zaky al hamzah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement