REPUBLIKA.CO.ID, JAKATA -- Mantan Sekretaris Menteri (Sesmen) BUMN, Said Didu, menyarankan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan bersikap tegas dalam polemik rencana kenaikan harga LPG kemasan 12 Kg. "Sikap tegas ini agar Pertamina dan ibu Karen sendiri tak jadi kambing hitam," ujar Said Didu saat dihubungi Republika, di Jakarta, Senin (6/1).
Said mengungkapkan bila dirinya sebagai dirut Pertamina, maka ada tiga langkah yang harus diambil. Pertama, mempertanyakan kepada pemerintah terkait siapa yang bertanggung jawab atas kerugian Pertamina?
Sebab, dengan hanya naik Rp 12 ribu per tabung, Pertamina masih akan menanggung kerugian Rp 6,5 triliun. Bila tak dinaikkan berapa pun, kerugian BUMN migas itu mencapai Rp 7,7 triliun.
"Siapa yang bertanggung jawab? Kalau tak ada, maka kalau saya sebagai dirut enggan menerimanya, karena BUMN tak melakukan bisnis. Kalau BUMN rugi, bisa dipidana," ujar Said Didu.
Bila tak yang bertanggung jawab, maka Said memberikan saran kedua. Yakni menarik keterlibatan Pertamina untuk berhenti berbisnis gas. Sebab, tak ada kepastian sekaligus perlindungan hukum.
Dalam RUPS Pertamina, BPK memeriksa audit bahwa Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp 7,73 triliun (temuan 2011 hingga Oktober 2012). Rekomendasi ini yang dijadikan rujukan untuk menaikkan harga gas 12 kg sebesar Rp 3.500 per kg.
Karena LPG 12 Kg tak disubsidi, maka Pertamina berhak menaikkan tanpa melapor ke pemerintah dan DPR. Pertamina sudah memberikan kepastian kenaikan harga LPG 12 Kg, tapi akhirnya dikompromikan menjadi hanya Rp 12 ribu per tabung.
Sedangkan perlindungan, ujar Said, karena pemerintah dinilai tak melindungi keputusan Pertamina bila kebijakan tersebut berseberangan dengan rakyat. Posisi pemerintah serta sejumlah politisi dinilai Said Didu justru menyalahkan Pertamina. "Pertamina jadi kambing hitamlah, pokoknya," kata dia.
Padahal, lanjut dia, keputusan harga gas 12 kg sebesar Rp 3.500 per kg sebelum direvisi sudah disetujui dalam RUPS Pertamina. Keputusan RUPS itu mengacu pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan Pertamina rugi sebesar Rp 7,73 triliun (temuan 2011 hingga Oktober 2012). Artinya, keputusan Pertamina bukan monopoli direksi maupun kebijakan tanpa pertimbangan yang matang.
Kemudian, saran ketiga dari Said untuk Pertamina, yakni, pemerintah selayaknya mengganti sisa kerugian Pertamina. Dengan kenaikan Rp 12 ribu per tabung, Pertamina masih rugi Rp 6,5 triliun. "Maka, pemerintah harus menutupi sisa kerugian. Jangan dibiarkan kerugian ditanggung sendirian oleh Pertamina," saran dia.
Sebagai BUMN, Pertamina diamanatkan UU agar tak merugi. Padahal, agar tak merugi, Pertamina sudah mengajukan kenaikan harga LPG kemasan 12 Kg sejak lima tahun lalu, namun dilarang pemerintah.
Selama lima tahun terakhir terjadi dua kali krisis keuangan. Untuk krisis terakhir, kurs nilai tukar rupiah naik 40 persen dan harga gas (masih impor) sudah naik 200 persen. Jika diakumulasi, maka terjadi kenaikan 240 persen.
Sehingga, ujar dia, kenaikan LPG 12 Kg sekitar 70 persen usulan Pertamina tetap tak menutup kerugian. Sebelumnya, Pertamina telah memutuskan untuk menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar Rp 3.959 per kg mulai 1 Januari 2014. n zaky al hamzah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.