REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erdy Nasrul
Banten memiliki catatan tersendiri di mata dunia. Salah satu kabupatennya, Pandeglang, Kecamatan Umbulan, Desa Cikeusik, dikenal sebagai tempat bentrokan antara warga sekitarnya dan Jemaat Ahmadiyah. Peristiwa yang terjadi pada 6 Februari 2011 itu mencoreng nama Indonesia. Namun, di sisi lain, hal itu menjadi titik awal berubahnya pola dakwah di sana.
Beberapa bulan setelah itu, Banten kedatangan seorang dai asal Mandar, Sulawesi Barat, Jumardan (35). Dia datang ke sana dengan biaya dari teman-teman halaqahnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Semangat yang dibawanya adalah dakwah semata. “Rezeki Allah nantinya akan mengikuti. Ini idealisme saya,” kata Jumardan, Senin (6/1).
Dia kemudian mengucapkan basmalah untuk memulai dakwahnya. Setiap bulan dia hanya mendapatkan uang Rp 500 ribu dari teman-teman halaqah yang ikhlas membantu. Awalnya, Jumardan bersama istri, Khairun Nikmah, dan kelima anaknya mengontrak sebuah rumah di Pandeglang. Dia kemudian pindah mengontrak ke rumah di dekat Pasar Saketi, masih di Pandeglang. Tepatnya di Jl Jayawijaya, Ciceri Perrmai IV, Blok E1 No 3. Rumah itu menjadi pusat aktivitas dakwahnya.
Sebuah ruangan di rumah itu digunakan untuk halaqah hampir setiap hari. Anak-anak mengaji di sana. Jumardan mengajarkan masyarakat membaca kitab suci, tasamuh (toleransi), juga persatuan dan kesatuan. Poin yang terakhir tidak dapat dipisahkan dari dakwah karena, menurutnya, ulama terdahulu berdakwah dan berjihad hingga tetes darah terakhir untuk mempertahankan kesatuan Indonesia.
Rumah itu memiliki kesan tersendiri baginya. Ketika belum tinggal di sana, Jumardan menginginkan sebuah rumah yang dekat dengan jalan raya, sekolah, dan tempat berobat. Tujuannya, agar sang istri gampang ke pasar dan anak gampang ke sekolah. Apabila ada yang sakit, dapat segera ditangani.
Dia kemudian pergi mencari rumah yang diinginkannya. Hingga sore hari, tidak juga ditemukan apa yang dicari. Bapak lima anak ini berinisiatif untuk menginap di sebuah masjid. Seusai Isya, dia membaringkan badan. Namun, pada pukul 22.00 WIB, dia dibangunkan takmir masjid. Dia dilarang tidur di masjid. Dengan berat hati, dia tinggalkan masjid di sekitar Kota Serang itu.
Ketika sampai di sebuah tanah kosong, Jumardan melihat penjual jagung bakar menyuguhkan dagangannya. Dia membeli sebuah jagung yang masih panas dilumuri mentega, kemudian menyantapnya sambil duduk di sebuah tenda yang disiapkan penjual. Selesai makan jagung, hujan turun.
Tiba-tiba datang seorang wanita berpakaian ketat, menunjukkan lekuk tubuhnya. Semakin deras hujan semakin banyak wanita seperti itu berdatangan. Jumardan berada di tengah-tengah wanita-wanita itu. Mereka adalah pelacur yang menumpang berteduh.
Karena mereka belum mendapatkan pelanggan, maka Jumardan mendapatkan tawaran khusus. "Ayo A’, saya kasih diskon," kata seorang pelacur yang tidak dikenal, seperti dituturkan Jumardan.
Jumardan membayangkan kondisinya saat itu yang sedang melindungi diri dari hujan. Petir menggelegar. Seandainya petir menyambar tendanya, kemudian mati, maka dia menghembuskan nafas terakhir di tengah kerumunan pelacur. Nafsu syahwat yang akan menjadi akhir catatan hidupnya. "Saya tidak mau su’ul khatimah," ujarnya.
Dia kemudian berlari. Hujan tidak lagi dipedulikannya. Dia terus berjalan hingga sampai di sebuah emperan ruko. Dia membaringkan diri di sana. Keesokan harinya dia menemui seorang dermawan yang hendak mewakafkan tanah untuk dakwah. Perjuangannya semalam tidak sia-sia.
Keberhasilannya menghindari maksiat membuat seorang dermawan mendukung dakwahnya. Jumardan mendapatkan sekitar seribu meter persegi tanah wakaf. Selesai menemui orang itu, dia kembali mencari rumah. Barulah ditemukannya rumah yang kini ditempatinya, rumah yang menjadi tempatnya berdakwah.
Itu bukan satu-satunya kesulitan. Pernah dia, istri, dan anak-anaknya kekurangan uang saat menempuh perjalanan dari Jakarta ke Pandeglang. Peristiwa yang dialaminya pada 2011 itu masih dikenangnya. Jumardan ke Jakarta untuk mengurus kuliah magisternya di Universitas Negeri Jakarta.
Setelah urusan kuliah selesai, mereka ingin kembali pulang. Hari sudah malam. Bus ke Pandeglang ataupun Serang sudah habis. Mereka akhirnya naik angkot ke Pasar Koja, Jakarta Utara. Mereka kemudian menumpangi truk pengangkut kelapa. "Bayarnya Rp 400 ribu," tutur Jumardan.
Mereka kemudian naik di bak truk. Ketika itu, anaknya yang terakhir, Akilah Solihah, masih berumur delapan bulan. Perjalanan itu membuat mereka merasakan embusan angin malam yang cukup kencang. Di pertengahan jalan, mereka diguyur hujan. Mereka kemudian saling merangkul untuk melindungi Akilah. Dini hari, mereka tiba di rumah. "Alhamdulillah, semuanya sehat."
Dai di Kota Makassar, Ustaz Misbahudin, menyatakan Ustaz Jumardan dikenal gigih dalam berdakwah. "Semangat beliau membuat kami harus maksimal membantunya," kata Misbah, sapaan akrabnya.
Misbah pernah menemani Jumardan berdakwah. Keduanya menemui tokoh masyarakat di Banten dan Pandeglang. Ketika dikenalkan bahwa keduanya datang dari Makassar, mereka langsung dihormati. Tokoh masyarakat di sana, jelas Misbah, sangat bangga dengan Orang Makassar karena salah seorang alim, Syekh Yusuf Makassari, menyebarkan Islam di Banten.
Ada juga orang-orang Makassar yang menjadi pasukan Gowa berdatangan ke Banten. Mereka mati-matian berjuang bersama Kesultanan Banten, melawan Belanda pada era penjajahan dulu. n ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.