REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) bulanan perdana pada 2014 akan dihelat, Kamis (9/1). Sejumlah pihak berharap BI tak lagi menaikkan suku bunga acuan (BI Rate).
Level BI Rate saat ini yang sebesar 7,5 persen dinilai sudah tepat dan kondusif untuk bisnis perbankan maupun menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Terhitung sejak Juni 2013, BI telah menaikkan BI Rate sebesar 175 basis poin (bps).
Ketua Ikatan Bankir Indonesia (IBI) Zulkifli Zaini mengatakan, inflasi 2013 sebesar 8,38 di bawah target BI. Hal ini memperlihatkan bahwa ancaman inflasi sudah menurun. “Kebutuhan untuk menaikkan BI Rate kini tak mendesak,” ujarnya, Selasa (7/1).
Bila BI Rate tak dinaikkan, ia menilai perbankan akan mampu berekspansi. Bisnis bank pun dapat tumbuh di atas 20 persen dalam beberapa tahun terakhir. Angka tersebut, menurutnya, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan kredit bank-bank di negara ASEAN.
Hal yang sama juga diungkapkan Direktur Utama Bank Bukopin Glen Glenardi. Ia berharap BI Rate dapat ditahan. “Jangan naik-naik terus. Pasar jadi susah nanti,” ujarnya. Menurutnya, beberapa indikator yang membuat BI Rate naik sudah mereda. Inflasi sudah menurun.
Selain itu, defisit transaksi berjalan telah menyusut dari sebelumnya 4,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau 9,9 miliar dolar AS pada triwulan II 2013 menjadi 3,8 persen terhadap PDB atau 8,4 miliar dolar AS pada triwulan III. Diperkirakan defisit mencapai 3,5 persen terhadap PDB pada akhir tahun 2013.
Direktur Keuangan Bank Internasional Indonesia (BII) Thila Nadason mengatakan, untuk alasan kestabilan perekonomian Indonesia wajar bila BI menaikkan BI Rate. Meski demikian, diharapkan BI Rate tidak kembali dinaikkan untuk memberikan keleluasaan kepada perbankan.
Menurut Thila, kebijakan bank sentral AS terkait pelonggaran kuantitatif (QE) akan memengaruhi keputusan yang diambil otoritas terkait di Indonesia, termasuk BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kebijakan menaikkan BI Rate bisa saja kembali diambil bila QE berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Namun, Thila masih berusaha optimistis. Ia melihat bahwa otoritas di Indonesia sudah mengambil berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan QE. Ia berharap dampak atas masalah ini tidak signifikan agar BI Rate stabil.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bobby Rafinus, menyadari kewenangan untuk menaikkan maupun menurunkan BI Rate merupakan wewenang sepenuhnya BI.
Meskipun begitu, Bobby berpandangan jika BI Rate dinaikkan, hal tersebut tidak sejalan dengan indikator inflasi dan neraca perdagangan. “Keduanya lebih baik dari perkiraan,” katanya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menyatakan, untuk mengatasi tantangan ekonomi ke depan, kebijakan sektor riil lebih dibutuhkan daripada kenaikan BI Rate. “Sekarang yang dibutuhkan itu kebijakan sektor riil. Apakah implementasinya sudah sesuai dengan harapan atau tidak,” ujarnya.
Namun, kemungkinan BI untuk kembali menaikkan BI Rate cukup besar. Hal ini mengingat tingkat inflasi yang tidak terkendali dan impor yang masih tinggi sehingga defisit transaksi berjalan masih terjadi. Kendati impor sudah mengalami penurunan tetapi Destry melihat impor minyak masih relatif besar. Hal ini bisa saja mendorong perbedaan yang tinggi antara kegiatan ekspor dan impor di Tanah Air. n satya festiani/muhammad iqbal ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.