REPUBLIKA.CO.ID, Belum genap sepekan, drama kenaikan harga elpiji (LPG) kemasan 12 kilogram (kg) berakhir. Hasil akhirnya tetap tak menguntungkan rakyat sebagai pemegang 'saham' negeri ini.
PT Pertamina (Persero) akhirnya merevisi kenaikan harga elpiji kemasan 12 kg menjadi Rp 1.000 per kg per Selasa (7/1), pukul 00.00 (dini hari). Sebelumnya, Pertamina telah memutuskan untuk menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar Rp 3.959 per kg mulai 1 Januari 2014.
Kenaikan harga yang hanya Rp 12 ribu per tabung merupakan kebijakan kompromi antara Presiden SBY yang diwakili Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik, direksi PT Pertamina (Persero), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada Senin (6/1).
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja atas Implementasi Kebijakan Energi Nasional Sektor Gas Area Kunci Pendistribusian LPG Tahun 2011 dan 2012, tertanggal 5 Februari 2013 tersebut telah disampaikan kepada DPR pada 2 April 2013, dan DPD pada 30 April 2013, serta Presiden RI pada 4 April 2013 bersamaan dengan penyampaian Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2012.
Temuan pemeriksaan dalam LHP BPK itu di antaranya: Pertama, Pertamina Menanggung Kerugian atas Bisnis LPG non-PSO 12 kg dan 50 kg selama tahun 2011 sampai dengan Oktober 2012 Sebesar Rp 7,73 triliun; dan kedua, Pertamina belum memanfaatkan sumber dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan LPG secara optimal.
Rekomendasi BPK inilah yang dijadikan rujukan RUPS Pertamina untuk menaikkan harga gas 12 kg sebesar Rp 3.500 per kg. Karena elpiji 12 kg tak disubsidi, maka Pertamina berhak menaikkan tanpa melapor ke pemerintah dan DPR. Pertamina sudah memberikan kepastian kenaikan harga elpiji 12 kg, tapi akhirnya dikompromikan menjadi hanya Rp 12 ribu per tabung.
Menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan, kenaikan harga elpiji 12 kg adalah kewenangan Pertamina. "Namun, di dalam Pertamina itu ada pemegang saham, jadi pemegang saham putuskan kenaikan itu terlalu tinggi, jadi kenaikannya Rp 1.000 per kg," kata Dahlan di kantor BPK, Jakarta, Senin (6/1).
Ada beberapa hal menarik dalam kekisruhan kenaikan harga elpiji 12 kg ini. Pertama, lemahnya koordinasi antara Pertamina, Menteri BUMN, Presiden, dan DPR. Semula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sekjen Partai Demokrat, pengurus Partai Demokrat dan Ketum PAN Hatta Rajasa mendukung rencana kenaikan harga elpiji 12 kg per 1 Januari 2014. Namun, saat rencana itu ditolak warga, mereka yang semula mendukung tiba-tiba berbalik arah meminta Pertamina mengkaji ulang rencana kenaikan.
Polemik kenaikan harga elpiji 12 kg ini melibatkan tiga kementerian di kabinet Presiden SBY. Menteri ESDM Jero Wacik mengaku tidak tahu-menahu soal rencana Pertamina menaikan harga BBM. Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyebut kenaikan harga LPG di bawah kewenangan Kementerian BUMN selaku pemegang saham Pertamina.
Namun, Menteri BUMN Dahlan Iskan secara tersirat menyesalkan sikap para menteri yang lepas tangan dengan kebijakan Pertamina. “Kalau kenaikan, pokoknya semua yang salah saya,” ujar Dahlan.
Mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menilai kekisruhan ini mirip opera sabun. Dia menilai, jika Presiden SBY berhasil membatalkan kenaikan harga elpiji, maka respons rakyat Indonesia akan senang dan tentu saja berpengaruh kepada elektabilitas Partai Demokrat menjelang Pemilu 2014.
Pengamat politik dari LIPI, Firman Noor, mengatakan fokus menteri-menteri di kabinet sudah tidak seragam karena menjelang akhir pemerintahan SBY. “Arah pemikiran mereka tak lagi mengutamakan kemaslahatan rakyat karena sudah bercampur dengan kepentingan politik masing-masing,” ujarnya.
Padahal, masalah kenaikan harga elpiji ini termasuk hal yang sangat krusial lantaran menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, hal ini justru luput dari perhatian pemerintah, terutama menteri-menteri terkait. Bahkan, di antara mereka sempat saling tuding soal siapa yang mesti bertanggung jawab.
Menurut Firman, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal semacam itu terjadi. Pertama, para menteri yang bersangkutan memiliki agenda dan kepentingan politik terkait Pemilu 2014. Dua dari tiga menteri itu, kata dia, merupakan tokoh kunci di parpolnya masing-masing.
Di tahun politik sekarang ini, mereka tentunya lebih memilih untuk menyelamatkan atau melindungi citra partainya, daripada mengambil tanggung jawab dalam urusan kenaikan harga LPG.
Kedua, papar dia, koalisi para menteri tidak dibangun dengan solid sejak awal terbentuknya kabinet. Akibatnya, sering terjadi miskomunikasi di antara mereka saat menghadapi berbagai persoalan. “Kasus seperti ini sudah berulang kali terjadi. Dulu juga pernah ada kejadian menteri-menteri saling bantah,” ujarnya.
Faktor kedua, menurut mantan sekretaris menteri BUMN, Said Didu, adalah kenaikan harga elpiji dari Rp 3.959 per kg menjadi Rp 1.000 per kg adalah kebijakan kompromi yang tak mendasar.
"Itu blunder hukum. Rekomendasi kenaikan kan dari BPK. Masa, masukan BPK dikompromikan?" ujar Said Didu kepada Republika, di Jakarta, Senin (6/1).
Apalagi, kenaikan yang hanya Rp 12 ribu per tabung tidak akan menutupi kerugian Pertamina dalam bisnis elpiji 12 kg ini. Sebab, rencana kenaikan itu sudah ditahan selama lima tahun.
Pasalnya, kenaikan itu dinilai tidak memiliki dasar perhitungan bisnis yang akurat. Dia melihat kenaikan itu hanya kompromi antara pemerintah, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Pertamina, dan BPK ketika penolakan rakyat terus menguat.
Bila kebijakan blunder ini dipaksakan, Said Didu khawatir, kebijakan ini akan menjadi yurisprudensi bagi Presiden SBY atau presiden berikutnya untuk melakukan kompromi terhadap semua keputusan BPK atau lembaga audit lain.
"Acuannya kebijakan blunder ini. Kalau sekarang (melanggar saja) boleh, maka aturan berikutnya bisa dilanggar, ‘kan? Ini kan bahaya," katanya.
Selain tak ada dasar perhitungan akutansi dalam menaikkan Rp 12 ribu per tabung, Said menilai kenaikan sebesar itu hanya untuk mengurangi 'rasa malu' dari Presiden, partai pemerintah dan pihak yang semula mendukung kenaikan elpiji kemudian berbalik menyatakan penolakan.
Politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka juga mengkritik sikap sejumlah menteri yang saling lepas tangan dan justru mencari muka ke publik. "Jangan saling menuding, sudah jelas keputusan naikkan harga elpiji sekitar 67 persen di awal tahun (adalah) tanpa ada ruang kompromi bagi rakyat, tanpa dengarkan realita dampak bagi kehidupan rakyat, sungguh menunjukkan pemerintah SBY raja tega," katanya dalam keterangan pers.
Anggota Komisi IX DPR itu menyatakan kenaikan harga elpiji di awal tahun menunjukkan pemerintahan Presiden SBY menjadi raja tega. Dia mempertanyakan alasan kenaikan elpiji karena Pertamina mengalami kerugian.
"Apakah solusi kerugian itu dengan mencekik rakyat yang tak memiliki posisi tawar? Ketika Pertamina untung, tak ada pengumuman kepada rakyat. Lalu, tak pernah pula ada kebijakan penurunan harga elpiji ketika Pertamina untung. Atau Pertamina rugi terus?" katanya.
Meski harga elpiji 12 kg hanya naik Rp 12 ribu per tabung, kebijakan ini sangat memberatkan warga, khususnya masyarakat kelas menengah dan bawah. Kenaikan itu juga akan menambah lebar kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin.
Apalagi, harga elpiji 12 kg di lapangan justru belum turun, dan bergerak liar. Bukan hanya Rp 117.708 ribu per tabung, tetapi sudah ada yang dijual pada kisaran Rp 140 ribu per tabung.
Sebaliknya, sejumlah agen elpiji 12 kg malah merugi. Pasalnya, selain harus menanggung beban produksi, banyak agen LPG yang masih memiliki stok elpiji kemasan 12 kg dengan harga lama. Pemerintah dan Pertamina menilai kerugian itu merupakan dampak bisnis karena adanya perubahan harga secara drastis.
Menyoal melonjaknya harga elpiji 12 kg, mantan kepala Auditorat Pemeriksaan BUMN Tiurlan Simatupang mengatakan, kenaikan 12 kg akan memberatkan UKM dan rumah tangga. "Saya rasa tidak fair jika dulu pemerintah menganjurkan penggunaan gas namun kini harga gas sangat tinggi,” kata dia.
Dengan situasi geliat UKM di Indonesia sedang berkembang, keputusan menaikkan harga gas nonsubsidi akan menimbulkan instabilitas bagi ekonomi Indonesia.
Faktor ketiga akibat polemik ini adalah kredibilitas Pertamina yang tergerus. Sejumlah pihak menilai sikap Presiden SBY dan para menteri di atas adalah upaya ‘mengambinghitamkan’ direksi Pertamina.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah menegaskan, rekomendasi dari BPK untuk perbaikan Pertamina bukan hanya dari sisi harga jual gas, tetapi juga perlunya perbaikan internal. “Salah satu rekomendasi BPK selain penyesuaian harga adalah melakukan perbaikan internal, dalam hal ini efisiensi,” katanya, Senin (6/1).
Di sisi lain, Presiden dituding telah melakukan pencitraan, meski dibantah. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menegaskan Presiden SBY tidak melakukan pencitraan lewat persoalan kenaikan elpiji 12 kg.
Menurutnya, reaksi Presiden SBY memang karena Presiden tidak tahu tentang kebijakan tersebut. "Oh ndaklah. Saya saksi hidup. Presiden itu baru tahu," kata Sudi di Kantor Presiden, Selasa (7/1).
Agar Pertamina tidak menjadi 'kambing hitam' dalam kisruh ini, mantan sekretaris menteri (sesmen) BUMN, Said Didu, menyarankan Dirut Pertamina Karen Agustiawan bersikap tegas. "Sikap tegas ini agar Pertamina dan Ibu Karen sendiri tak jadi kambing hitam," ujar Said Didu saat dihubungi Republika.
Said mengatakan ada tiga langkah yang harus diambil dirut Pertamina. Pertama, mempertanyakan kepada pemerintah terkait siapa yang bertanggung jawab atas kerugian Pertamina?
Sebab, dengan hanya naik Rp 12 ribu per tabung, Pertamina masih akan menanggung kerugian Rp 6,5 triliun. Bila tak dinaikkan berapa pun, kerugian BUMN migas itu mencapai Rp 7,7 triliun.
"Siapa yang bertanggung jawab? Kalau tak ada, maka kalau saya sebagai dirut, enggan menerimanya. Karena, BUMN tak melakukan bisnis. Kalau BUMN rugi, bisa dipidana," ujar Said Didu.
Saran kedua adalah menarik keterlibatan Pertamina untuk berhenti berbisnis gas. Sebab, tak ada kepastian sekaligus perlindungan hukum.
Sedangkan perlindungan, ujar Said, karena pemerintah dinilai tak melindungi keputusan Pertamina bila kebijakan tersebut berseberangan dengan rakyat. Posisi pemerintah serta sejumlah politisi dinilai Said Didu justru menyalahkan Pertamina.
Kemudian, saran ketiga dari Said untuk Pertamina yakni pemerintah selayaknya mengganti sisa kerugian Pertamina. "Pemerintah harus menutupi sisa kerugian. Jangan dibiarkan kerugian ditanggung sendirian oleh Pertamina," saran dia.
Sejumlah pembaca memberikan komentar beragam terkait polemik kenaikan harga LPG 12 kg. n ed: zaky al hamzah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.