REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Draf usulan multitarif sebagai imbal jasa bagi penghulu akan segera disepakati menjadi peraturan pemerintah (PP). Menteri Agama Suryadharma Ali meyakini, akhir Januari ini PP yang mengatur tarif itu sudah berlaku.
Menurut dia, sudah ada sinkronisasi terhadap draf ini. Selanjutnya, diajukan sebagai PP menggantikan PP Nomor 47 Tahun 2004. “Instansi terkait sudah setuju dengan draf tersebut,” kata Suryadharma sebelum melakukan kunjungan ke Ambon, Jumat (10/1).
Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyetujui draf itu. Sebelumnya, Kementerian Agama juga berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai multitarif penghulu ini.
Menurut Suryadharma, PP ini kelak menjadi solusi terkait pembiayaan pencatatan nikah di luar Kantor Urusan Agama (KUA). Sekaligus, sebagai penghargaan kepada penghulu yang bekerja di luar kantor dan jam kerja.
“Kalau sudah ada kesepakatan di tingkat menteri, insya Allah Presiden akan menyetujuinya,” kata Suryadharma. Ia juga berjanji, multitarif ini tak bakal membebani APBN. Sebab, pembiayaan diambil dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Suryadharma menjelaskan, pemungutan tarif dari masyarakat akan dinilai sebagai PNBP. Lalu, pendapatan itu sebagian besar dikembalikan ke Kementerian Agama. Dikelola sebagai dana operasional untuk penghulu. Sedangkan, bagian lain PNBP masuk ke kas negara.
Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat mengatakan, dengan PP ini polemik soal penghulu berakhir. Terutama, terkait tudingan penghulu menerima gratifikasi. “Februari mendatang, diupayakan sudah harus selesai,” katanya.
Jadi, ada kejelasan bagi penghulu terkait aturan pelayanan di luar kantor dan jam kerja. Bahrul mengatakan, penghulu harus mendapat perhatian. Karena itu, pembahasan dana operasional mereka disegerakan.
Bukan hanya itu, amil atau biasa disebut pembantu pegawai pencatat nikah pun mesti diperhatikan. Perlu ada ketegasan berapa honor untuk mereka. Sejak terjadi otonomi daerah, ujar Bahrul, mereka kurang memperoleh perhatian.
Menurut Bahrul, pembahasan kebutuhan dana untuk penghulu ini telah menemui titik temu. Sayang, ia enggan menyebutkan berapa jumlah yang akan dialokasikan. “Semua sedang dihitung,” katanya menegaskan.
Dalam draf multitarif, ada empat usulan. Pertama, pelayanan nikah digratiskan bagi warga yang tidak mampu. Kedua, pelayanan nikah di KUA dikenai tarif Rp 40 ribu kecuali mereka yang tidak mampu. Ketiga, pelayanan nikah di luar KUA tarifnya Rp 400 ribu kecuali tak mampu.
Sedangkan, yang keempat, pelayanan nikah di gedung dikenai tarif Rp 1 juta. Asumsinya, mempelai dinilai mampu secara ekonomi. Dari tarif nikah di gedung akan diberikan sebagai subsidi silang untuk mempelai tak mampu.
Ketua Asosiasi Penghulu Indonesia Wagimun AW mengapresiasi pemerintah. Kebijakan ini untuk menghindari tudingan penghulu menerima gratifikasi. Ia berharap, aturan baru tak membebani masyarakat.
“Kami ingin penghulu tetap bisa menjalankan tugas di luar KUA dengan tenang. Masyarakat pun tak merasa berat,” katanya. Ia mengkritisi soal biaya nikah di gedung. Menurut dia, sebaiknya disamakan saja dengan biaya nikah di luar KUA dan jam kerja. Besarnya Rp 400 ribu.
Ia beralasan, mempelai yang memilih menikah di gedung belum tentu kaya. Bisa saja pertimbangannya karena ekonomis, artinya menikah di gedung bisa lebih irit. n amri amrullah ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.