REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Fungsi masjid yang semakin terdegradasi hanya digunakan aktivitas ibadah menjadi keprihatinan berbagai ulama di Tanah Air. Ini pula yang dirasakan salah satu pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Ridwan.
Karena itu, Cholil bersama sejumlah tokoh masyarakat berupaya menghidupkan kembali fungsi masjid seperti masa Rasulullah sebagai basis kajian politik masyakat Islam. Cholil menamakan gerakan yang diinisiasinya ini dengan istilah pengajian politik Islam (PPI). Pengajian politik Islam yang berbasis di masjid ini didasari atas semakin sempitnya fungsi masjid di masyarakat.
Sedangkan, di sisi lain, kesadaran partisipasi politik umat Islam kian lemah. Akibatnya, setiap perjuangan politik umat Islam selalu kalah dan tidak diperhitungkan. “Pengajian politik Islam yang berbasis di masjid ini adalah upaya untuk memberikan pemahaman politik Islam yang benar kepada umat,” ujar Cholil, Rabu (15/1).
Saat ini, aktivitas pengajian politik Islam yang diprakarsainya masih terpusat di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, setiap hari Ahad. Ia mengungkapkan, dibentuknya pengajian politik Islam ini pada 2012 karena kekecewaan selalu kalahnya perjuangan politik umat Islam. Dari kekecewaan ini, muncullah inisiatif dari para tokoh untuk memberikan kajian politik yang benar sesuai Alquran dan hadis. “Kita sosialisasikan berpolitik adalah ibadah karena ini bagian perjuangan umat Islam,” kata Cholil.
Menurut Cholil, tujuan pengajian politik ini bukan untuk mengarahkan umat ke salah satu kelompok dan partai politik tertentu. Namun, pemahaman politik yang disampaikan ini bertujuan untuk menyatukan pandangan akan pentingnya umat Islam berpartisipasi memilih calon pemimpin yang benar sesuai anjuran Alquran dan hadis. “Kita tidak mempermasalahkan perbedaan mazhab, kelompok, parpol, dan ormas. Tapi, kita ingin menyatukan kesadaran politik umat Islam.”
Cholil pun berencana memperluas kegiatan pengajian politik Islam ini di berbagai masjid di Indonesia dalam waktu dekat. Dalam waktu dekat, pengajian politik ini akan diadakan di Bandung, Jawa Barat. Ia berharap, dengan memperluas pengajian politik Islam, tidak hanya memberikan pemahaman politik Islam yang benar kepada umat. Namun, juga mengaktifkan kembali fungsi masjid sebagai wahana pendidikan politik umat Islam. Apalagi, menjelang pemilihan pimpinan nasional tahun ini.
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) mengungkapkan, masjid sebagai tempat ibadah umat Islam harus tetap menjaga netralitasnya dari kepentingan politik praktis. Akan tetapi, DDII menyambut upaya beberapa pihak yang mengembalikan fungsi masjid tidak sebagai tempat ibadah semata.
Ketua Umum Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri mengingatkan agar umat tetap menjaga posisi masjid yang netral. Walau demikian, kata dia, bukan berarti masjid tidak bisa memberikan peran politik yang lebih besar kepada masyarakat. “Masjid harus bisa memberikan solusi kehidupan umat, mulai dari masalah keagamaan hingga politik. Tetapi, masjid bukan sarana untuk politik praktis,” ujarnya.
DDII, menurut Syuhada, mengapresiasi langkah sejumlah ulama, seperti KH Cholil Ridwan, yang mengadakan pengajian politik Islam di Masjid al-Azhar. Ia menilai, langkah ini merupakan upaya memfungsikan kembali peran politik masjid seperti zaman Nabi. Dalam Islam, kata dia, memilih pemimpin adalah tanggung jawab yang harus dilakukan demi kepentingan umat. “Umat harus memiliki pemahaman yang benar bagaimana memilih pemimpin sesuai ajaran Islam.”
Dengan demikian, Syuhada menegaskan, fungsi masjid menjadi lebih luas seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Masjid pun berfungsi sebagai madrasah yang mencerdaskan masyarakat. Tetapi, ia kembali mengingatkan, untuk saat ini, posisi seperti ini sangat rentan disalahgunakan. Karena itu, ia tetap mengingatkan masjid tetap harus netral dari kampanye politik praktis agar tidak mencederai umat Islam secara luas. n amri amrullah ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.