REPUBLIKA.CO.ID, Kampus bisa menyampaikan pandangannya terhadap persoalan bangsa Indonesia kepada para calon presiden. Tahun ini Indonesia akan menggelar dua pesta demokrasi, yakni pemilu legislatif dan presiden. Seiring dengan perkembangan demokrasi politik di Indonesia, pemilu diharapkan menjadi sarana pembelajaran politik bagi masyarakat luas. Khususnya, dalam memilih calon pemimpin yang mampu membawa Indonesia lebih maju dan sejahtera.
Demikian pula, dengan peran kampus yang kian strategis. Di lembaga pendidikan tinggi ini, terdapat ribuan calon pemilih muda. Mereka berpotensi tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga kader politik masa depan. Suara mahasiswa yang berjumlah sekitar lima juta jiwa ini diharapkan juga bisa berkontribusi dalam menentukan arah bangsa. Bukan justru menjadi golongan putih.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Idrus A Paturusi memandang kampus tidak bisa lepas tanggung jawab terhadap masalah politik. Rektor Universitas Hassanudin tersebut juga mengatakan bahwa kampus harus bisa mengawal, mengawasi, dan mengevaluasi momentum 2014 sebagai proses pergantian pemerintahan.
Meski secara etika tidak mengizinkan politik praktis di kampus, perguruan tinggi perlu membuka diri untuk berdialog dengan calon-calon anggota legistalif (caleg) maupun calon presiden (capres). Figur para caleg atau capres perlu diperkenalkan kepada masyarakat kampus. Bukan dalam rangka kampanye, melainkan sebagai salah satu bentuk sosialisasi, pemaparan visi dan misi, serta kontribusi yang bisa diberikan. “Tidak tabu mengundang tokoh politik ke kampus. Komunitas di kampus itu hampir lima jutaan, populasinya kecil, tapi suara kampus cukup diperhitungkan,” ujar Idrus pada Rabu kemarin.
Menurutnya, kampus bisa memberikan masukan positif melalui diskusi akademik terhadap pembangunan bangsa. Misalnya, beberapa kali Unhas mengundang tokoh nasional untuk diskusi akademik dengan mahasiswa S-2 sehingga bisa saling tukar pikiran dan memberikan masukan yang lebih baik. Di sisi lain, mahasiswa sebagai agen perubahan juga perlu mendapatkan pembelajaran agar kelak siap menggantikan sebagai pemimpin bangsa.
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Muhadjir Effendy mengatakan, momentum jelang pemilu bisa dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran politik bagi mahasiswa. Seminar dan sosialisasi yang menghadirkan tokoh-tokoh publik sengaja dihadirkan untuk pencerdasan politik dan mendekatkan para tokoh kepada sivitas akademika. “Kita undang pihak-pihak yang bisa memberikan masukan timbal balik, baik saat pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden,” ujarnya.
UMM banyak mengundang tokoh nasional untuk bersosialisasi dengan masyarakat kampus. Pihaknya sangat terbuka kepada siapa pun, termasuk politisi, jika ingin lebih dekat dengan kampusnya. Bahka, caleg boleh melibatkan mahasiswa UMM menjadi relawan atau tim sukses dalam kegiatan sosialisasi jelang pemilu.
Caleg rekrut mahasiswa
Muhadjir tidak melarang jika ada caleg merekrut mahasiswanya melalui organisasi ekstra kampus untuk menjadi tim sukses atau tim kampanye caleg tertentu. Menurutnya, keterlibatan mahasiswa sebagai tim kampanye bukan hal yang negatif. Ia memandang keterlibatan ini bisa membawa dampak positif bagi mahasiswa. Mahasiswa akan banyak belajar selama berada di lapangan dan berhadapan dengan masyarakat. “Kalau mau rekrut relawan juga boleh, kita persilakan, asal tidak ada paksaaan agar mereka juga punya pengalaman, misalnya untuk tim kampanye, atau tim baksos,” katanya.
Diizinkannya caleg merekrut mahasiswa sebagai tim sukses bukan tanpa alasan. Kampus seharusnya bisa menjadi tempat yang leluasa untuk melakukan sosialisasi atau berdiskusi. Semua boleh dilakukan asal tidak ada bentrokan antara satu pihak dan yang lain.
Meski mempersilakan mahasiswa untuk bisa terlibat secara individu terhadap partai atau caleg tertentu, Muhadjir mengaku tegas melarang dosen untuk terlibat dalam anggota partai atau menjadi caleg. “Kampus harus jadi tempat yang leluasa untuk bersosialisasi,” katanya.
Rektor Universitas Padjajaran (Unpad) Ganjar Kurnia mengatakan bahwa tidak ada program khusus sebagai sarana pendidikan politik pada 2014 ini. Menurutnya, mahasiswa telah mendapatkan pendidikan politik dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada saat pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari hal-hal kecil begitu, mahasiswa bisa belajar bagaimana dinamika demokrasi dalam lingkup yang lebih besar.
Sosialisasi caleg di area kampus, menurutnya, diperlukan sebagai salah satu tambahan agar mahasiswa bisa mengenal lebih dekat tokoh-tokoh yang akan dipilih dalam pemilu mendatang.
Sedangkan, Mendiknas Mohammad Nuh, seperti dikutip Antara menyatakan, momentum tahun politik 2014 dapat dimanfaatkan pimpinan perguruan tinggi untuk melakukan pendidikan politik. Kampus pun bisa menyampaikan pandangannya terhadap persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia kepada para calon presiden.
Oleh karena itu, Kemendikbud tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang melarang kegiatan yang bersifat pendidikan politik di kampus. Kampus memiliki otonomi untuk memilih dan mengagendakan kegiatan akademiknya.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
Kampus dapat menyiapkan agenda diskusi dalam kerangka membangun kesadaran berpolitik dengan pendekatan akademik, mengundang capres-cawapres menyampaikan ide dan gagasannya di dalam kampus, dalam koridor akademik, bukan politik praktis. Dalam kaitan dengan momentum tahun politik 2014, kegiatan di kampus tidak boleh menyalahi UU Pemilu. “Jadi, kegiatannya adalah murni pendidikan dalam koridor akademik sehingga netralitas kampus tetap terjaga, sesuai aturan pemilu,” katanya. n dwi murdaningsih ed: hiru muhammad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.