REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Media massa dianggap sebagai lembaga strategis yang sangat diperhitungkan menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Karena itu, tak jarang yang mempertanyakan netralitas media dalam menghadapi tahun politik.
Budayawan MT Arifin menilai bahwa media bisa menjadi corong untuk kepentingan politik pencitraan pihak tertentu. “Itu menyebabkan pers sering dikooptasi kekuatan politik,” kata Arifin dalam diskusi KAHMI dengan tema “Mempertanyakan Netralitas Media Massa Dalam Pemilu 2014” di KAHMI Center, Jakarta, Kamis (16/1).
Menurut Arifin, banyak faktor yang bisa memengaruhi media. Ia mengatakan, kepentingan isu dapat menentukan ke arah mana media berjalan. Lalu, kepentingan bisnis dan juga politik dari pemilik media. Kemudian, faktor kebijakan publik. “(Kebijakan) itu akan memengaruhi sesuatu dan media bisa berpihak untuk kepentingan itu,” ujarnya.
Selain itu, Arifin juga menyebutkan faktor fasilitas yang diterima media dan juga persoalan ideologi. Ia mengatakan, faktor-faktor tersebut bisa memengaruhi langkah media. Namun di sisi lain, ia melihat media juga mempunyai kekuatan tersendiri. “Jangan dianggap pers itu tidak memiliki sikap sendiri dan kemandirian,” katanya.
Menurut Arifin, pers tidak begitu saja mudah untuk dipengaruhi. Ia mengatakan, kekuatan manajemen dan politik pemberitaan media akan menjadi faktor yang berpengaruh. Ia juga melihat kebijakan pemilik media, redaktur, dan jurnalis di lapangan akan memiliki peran. Menurutnya, pers juga tetap bisa menjaga independensi. “Itu kembali pada persoalan nilai dan pilihan. Andai kata mereka memiliki waktu cukup untuk mempertimbangkan politik pemberitaan secara baik, itu akan terjadi,” ujar Arifin.
Ia mengatakan, penggunaan pers untuk kepentingan pihak pemilik media memang bisa tetap terjadi. Namun, di sisi lain ia menilai, media mempunyai ruang lain yang cukup untuk menampung berbagai kepentingan lain. Sehingga, tidak terjadi benturan kepentingan. “Di situ ada masalah manajemen dan pemahaman hubungan pers, hubungan idealisme dengan pasar,” katanya.
Menyoal netralitas, Pemimpin Redaksi Republika Nasihin Masha menilai, media memang tidak netral dan boleh mengambil sikap akan sesuatu. Namun, sikap itu tetap harus berdasar pada fakta dan kode etik yang sudah ditetapkan. Kemudian, faktor terpenting lainnya, menurutnya, yakni independensi. “Jika independensi tidak ada maka di situ terjadi masalah. Itu tidak boleh,” ujarnya yang juga menjadi pembicara di acara itu.
Nasihin menyebut independensi sebagai faktor yang harus tetap dijaga media. Meskipun, adanya kepentingan dari pemilik media. Menurutnya, media harus tetap mempunyai ruang terbuka untuk independensi. “Bagaimana ruang newsroom itu tetap independen,” ujar Nasihin.
Kepala Pemberitaan Media Indonesia Abdul Kohar sepakat dengan pandangan Nasihin bahwa independensi lebih utama ketimbang netralitas. Ia mengatakan, media boleh bersikap dan sikap itu bisa dipengaruhi banyak faktor. Ia mengatakan, sikap media tetap harus mengutamakan kepentingan yang lebih besar. “Sebaik-baiknya sikap itu adalah ketika ia dipengaruhi publik. Media semestinya bersikap kepada publik,” katanya.
Menjaga independensi, menurut Kohar, merupakan tantangan media. Ia mengatakan, itu merupakan bentuk pertanggungjawaban dari media. Karena ketika media mulai “bermain” dengan independensi, hukuman sudah menanti. “Pada titik itu, yang menghukum kami publik. Hukuman publik itu luar biasa,” ujarnya.
Arifin menilai, memang ada harapan besar dari masyarakat akan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ia mengatakan, pers diharapkan bisa membentuk dan menyuarakan suara publik. “Dengan harapan itu, pers menjadi instrumen penting untuk mendorong transformasi hak politik rakyat ke dalam jaringan mekanisme politik negara,” kata Arifin. n irfan fitrat ed: muhammad hafil
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.