Jumat 17 Jan 2014 17:48 WIB
Penerimaan Pajak

Mobil Murah Gerus Potensi Pajak

Mobil murah (ilustrasi)
Foto: r3870me
Mobil murah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK — Keberadaan mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) telah mengakibatkan negara kehilangan potensi tambahan penerimaan pajak. Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit menjelaskan, penghitungan lembaganya menunjukkan adanya kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 30 juta per unit mobil.

“Dengan produksi LCGC sekarang sekitar 38 ribu, berarti negara kehilangan pendapatan lebih dari Rp 1 triliun,” kata Danang saat menjadi pembicara dalam dialog terbuka bertema “Pengembangan Transportasi Massal Pascakenaikan BBM” di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Kamis (16/1). 

Danang menjelaskan, hasil penelitian lembaganya juga menunjukkan tingginya permintaan masyarakat terhadap LCGC. Jumlahnya mencapai 300 ribu unit atau kurang lebih sama dengan estimasi Kementerian Perindustrian. “Maka, kehilangan pajaknya bisa mencapai Rp 10 triliun. Bagaimana ini bisa dianggap kebijakan komprehensif?” tanya Danang.

Kebijakan LCGC didasari oleh PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ditetapkan untuk mendukung kemandirian industri kendaraan bermotor roda empat. Pada Pasal 2 disebutkan, dasar pengenaan pajaknya dihitung nol persen dari harga jual.

Syaratnya adalah kendaraan tersebut, yaitu motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc atau motor nyala kompresi (diesel atau semidiesel) dan konsumsi BBM paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara. Selain itu, kendaraannya bukan berupa sedan maupun //station wagon//.

Danang mempertanyakan ketidaksesuaian antara kewajiban yang tertera dalam PP dan realita di lapangan. Selain itu, keinginan agar masyarakat di luar Jabodetabek memiliki LCGC tak sesuai dengan data yang ada. Sebab, 19 persen dari total 38 ribu LCGC yang terjual berkeliaran di DKI Jakarta. Sedangkan, di Jabodetabek, jumlahnya mencapai 28 persen dari total penjualan. 

Kepala Pusat Kajian Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Irfa Ampri menjelaskan, program LCGC terkait dengan kebijakan penurunan Pajak Penjualan (PPn) 10 persen sampai 15 persen atau sekitar Rp 6 juta per unit. Selain itu, LCGC juga disyaratkan untuk tidak menggunakan BBM bersubsidi.

“Jadi, itu dari Kementerian Keuangan. Bahwasanya persyaratan itu memang dari kami. Ini adalah insentif untuk mendukung industri ramah lingkungan,” ujar Irfa. Apabila kenyataan yang ada menunjukkan LCGC menggunakan BBM bersubsidi, Irfa menyebutkan, hal itu bukan tanggung jawab otoritas fiskal. Tentu kementerian teknis terkait harus tanggung jawab dan lakukan penegakan hukum. “Kita harap, kementerian terkait lakukan fungsi sesuai peranannya,” kata Irfa.

Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Industri Perdagangan dan Transportasi Soetanto Soehodo mengatakan, jumlah penduduk Jakarta saat ini 9,6 juta orang. Jumlah penduduk di Jabodetabek sekitar 28 juta orang. Dari jumlah tersebut, terdapat 22 juta perjalanan setiap harinya di DKI Jakarta. Apabila dikaitkan dengan penggunaan angkutan umum, pada awal 2000-an, 60 persen perjalanan manusia menggunakan transportasi umum. Sisanya, menggunakan transportasi pribadi.

“Sekarang, kita kehilangan 30 persennya dan masuk ke kendaraan pribadi. Sehingga, kalau dihitung, jumlah kendaraan pribadi sekitar delapan juta-sembilan juta unit. Bisa dibayangkan, mereka sudah beralih dengan 24 persen sampai 26 persen masih menggunakan angkutan umum,” kata Soetanto.

Ketua Komisi V DPR Laurens B Dama menyatakan, penggunaan transportasi massal dapat mengefisienkan subsidi BBM. Selain itu, sifat transportasi massal yang ramah lingkungan dan hemat energi dapat berujung pada ringannya beban APBN. 

Menurut Laurens, pembelian kendaraan pribadi mengalami pertumbuhan antara delapan persen dan 15 persen. Sedangkan, pertumbuhan jalan raya hanya mencapai 0,01 persen per tahun. “Kondisi yang tidak sebanding ini mengakibatkan kemacetan dan pemborosan bahan bakar,” kata Laurens. n muhammad iqbal ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement