REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa meminta agar persoalan istitaah (kemampuan) jamaah haji diperhatikan lebih serius dan menyeluruh. Ia meminta pemerintah tidak hanya fokus pada kemampuan finansial jamaah, tapi juga faktor kesehatan jasmani. Selain itu, sisi rohani dan kemampuan jamaah dalam beribadah juga penting.
Ledia beralasan, dalam kunjungannya musim haji lalu, ia menemukan banyak kasus jamaah yang dirawat selama berhaji. "Banyak yang sakit berat atau menahun," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Jumat (17/1).
Selain itu, banyak laporan soal jamaah haji yang tidak memahami tata cara pelaksanaan ibadah haji dengan benar. Indikasinya, mereka tidak mendapatkan bimbingan pelaksaan haji yang cukup. “Ada yang tak paham urutan ibadah. Ada pula yang tak paham ketentuan shalat dan banyak lagi," ujarnya.
Padahal, kata Ledia, bimbingan manasik haji adalah hak jamaah dan sudah dianggarkan melalui program di Kementerian Agama (Kemenag). Selain itu, Ledia juga mengingatkan pemerintah soal mitra kerja Kemenag di Arab Saudi yang di-blacklist karena melanggar ketentuan atau memiliki laporan kinerja buruk.
Beberapa pemondokan, hotel, serta katering yang melanggar ketentuan atau memiliki laporan kinerja buruk sudah dimasukkan dalam daftar hitam. Daftar mereka tercantum dalam laporan pengawasan haji. Ledia meminta mereka jangan lagi digandeng lagi sebagai mitra.
Untuk mengawasi hal itu, Ledia juga meminta keterlibatan Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag agar mengawal dan memastikan persoalan pemilihan dan penetapan mitra kerja di Arab Saudi. Mereka yang dipilih harus terbaik, profesional, dan bersedia mengikuti persyaratan Pemerintah Indonesia.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Anggito Abimanyu enggan berkomentar mengenai kemampuan fisik jamaah haji yang dinilai buruk oleh DPR. "Saya tidak tahu soal kondisi itu. Mungkin itu harus ditanya ke bagian kesehatan," ujarnya saat dihubungi, Jumat (17/1).
Anggito juga tidak berkomentar banyak saat ditanya mengenai kritik DPR atas banyaknya jamaah haji yang kurang memahami ketentuan ibadah haji. Menurutnya, hal itu relatif dan tidak bisa dibedakan seperti hitam dan putih. "Kalau pemahaman itu tidak ada kaitannya dengan masalah penyakit," katanya.
Virus korona
Pada penyelenggaraan haji tahun lalu, jamaah haji diimbau agar selalu mengenakan masker selama berada di Tanah Suci. Hal ini untuk melindungi diri dari Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS) virus korona yang mematikan. Sebab, virus korona menular melalui percikan air liur saat batuk dan bersin.
Jamaah haji juga diingatkan untuk tidak berada dekat di dengan orang yang batuk, bersin, pilek, dan menghindari cuaca dengan temperatur lebih dari 38 derajat Celcius. Untuk mencegah MERS menyebar di Tanah Suci, Pemerintah Arab Saudi telah meminta jamaah haji lanjut usia dan jamaah yang sakit menunda ibadah mereka.
Anggota Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) Provinsi Banten Muhamad Iqbal mengatakan, yang rentan menyerang para calon haji biasanya adalah penyakit batuk, radang tenggorokan, dan flu atau infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Selain itu, penggunaan masker juga dimaksudkan untuk mengantisipasi penyebaran virus korona mengingat ribuan orang dari berbagai negara berkumpul dan berpotensi terjadinya penyebaran berbagai penyakit. "Penggunaan masker juga mengurangi debu serta dehidrasi karena perbedaan suhu antara Indonesia dan Arab Saudi," kata Iqbal.
Sebagian besar keluhan jamaah haji tahun lalu adalah penyakit batuk dan pilek. Jamaah yang berisiko tinggi (risti) diberikan gelang khusus dari tim kesehatan. Ini untuk memudahkan deteksi dini terhadap penyakit jika suatu waktu ada keluhan. n hafidz muftisany/ani nursalikah ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.