Senin 20 Jan 2014 07:21 WIB
Pembangunan Ekonomi Indonesia

Ironi Ekonomi Dualistis

Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Pembangunan berbasis lautan dan kepulauan tidak berarti menegasikan pembangunan di darat, tetapi justru menyinergikan antara pembangunan di wilayah darat dan laut.

 

Di usianya yang mendekati 69 tahun, Indonesia hingga kini masih menghadapi kondisi ekonomi yang paradoksial (dualistic economy). Secara makroekonomi, kinerja Indonesia tergolong baik di tengah-tengah penurunan laju pertumbuhan ekonomi global (global economy slowdown) yang dipicu krisis keuangan AS pada awal 2008 dan krisis ekonomi Eropa sejak awal 2010. Indonesia termasuk sedikit negara di dunia yang perekonomiannya tetap tumbuh positif, rata-rata 5,4 persen per tahun dari 2002 - 2012.

Pada 2012 pertumbuhan ekonominya mencapai 6,3 persen, hanya kalah dari Cina yang tumbuh 8,2 persen (World Bank, 2012).  Inflasi relatif rendah dan terkendali, cadangan devisa mencapai 119 miliar dolar AS (terbesar sepanjang sejarah negeri ini), dan untuk pertama kalinya sejak awal Reformasi 1998 pada 2011 Indonesia dinilai lembaga pemeringkat dunia (Fitch Rating, 2011) sebagai negara yang layak investasi (investment grad/).

Saat ini, PDB Indonesia mencapai satu triliun dolar AS, terbesar ke-16 di dunia. Jumlah kelas menengah mencapai 45 juta orang. Pada 2030 jumlah kelas menengah itu akan bertambah 95 juta orang dan ekonomi Indonesia diprediksi akan menempati posisi ketujuh terbesar di dunia, mengungguli Jerman dan Inggris. (Mc Kinsey Global Institute, 2012).

Namun, di balik gemilangnya prestasi makroekonomi itu, kehidupan keseharian mayoritas rakyat masih didera beragam penderitaan fisik maupun kejiwaan. Dengan garis kemiskinan Rp 270 ribu per orang tiap bulan, BPS mencatat, banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada September 2012 sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 persen dari total penduduk (BPS, 2012).

Dan, bila mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia, yakni dua dolar AS per orang tiap hari (sekitar Rp 600 ribu per orang tiap bulan), jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 120 juta orang. Artinya, hampir separuh rakyat Indonesia masih hidup dalam kubangan kemiskinan.

Dalam pada itu, jumlah pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung pun masih begitu besar, yakni sekitar 7,24 juta (Agustus 2012) dan 36 juta orang. Hal ini diduga akibat kebijakan pemerintah yang sangat liberal dalam perdagangan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, terutama sejak diberlakukannya perdagangan bebas dengan Cina (ACFTA, ASEAN-China Free Trade Agreement) pada Januari 2010. Sementara, pemerintah belum menyiapkan etos kerja rakyat dan daya saing industri dan nasional. Akibatnya, banyak pabrik atau perusahaan yang mengurangi produksinya atau gulung tikar, sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi pilihan sejumlah perusahaan.

Bukan hanya semakin membeludaknya jumlah pengangguran, kian terpuruknya industri (produksi) nasional akibat liberalisasi perdagangan pun menyebabkan neraca perdagangan dan transaksi berjalan mengalami defisit sejak dua tahun lalu.

Sebagian besar ekspor Indonesia hingga kini masih didominasi komoditas primer atau bahan mentah (seperti gas alam, CPO, batu bara dan bahan tambang lain, rumput laut, udang, dan ikan) yang kecil sekali nilai tambahnya dan kurang menghasilkan multiplier effects (efek pengganda) bagi ekonomi nasional.

Bila daya saing ekonomi tetap rendah dan impor dibuka selebar-lebarnya seperti ini terus dibiarkan, Indonesia tidak akan mampu menjadi bangsa produsen. Sebaliknya, kita akan menjadi bangsa konsumen terbesar yang sangat bergantung pada bangsa-bangsa lain, alias tidak berdaulat. Yang lebih mencemaskan, sektor-sektor ekonomi strategis (seperti pertambangan, perkebunan, perbankan, dan telekomunikasi) pun saham mayoritasnya sebagian besar dimiliki korporasi asing.

Angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi serta kesenjangan kaya versus miskin diyakini telah mengakibatkan tekanan hidup yang sangat berat bagi kebanyakan saudara-saudara kita sebangsa dan se-Tanah Air. Sehingga, membuat mereka banyak yang menderita kecemburuan sosial (social jelousy).

Kondisi sosio-antropologis semacam inilah yang mengakibatkan kian marak dan masifnya premanisme, perampokan, perkelahian antarkelompok masyarakat, konsumsi narkoba, bunuh diri, dan beragam penyakit sosial (social pathology) lainnya.

Muara dari segenap permasalahan sosial-ekonomi di atas adalah rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia yang hanya menempati urutan ke-121 dari 187 negara yang disurvei (UNDP, 2012).

Sekadar perbandingan, negara-negara tetangga, seperti Singapura bertengger pada urutan ke-18, Malaysia ke-64, Thailand ke-103, dan Filipina ke-112. Sedangkan, urutan pertama diraih Nowegia, Amerika Serikat keempat, Jepang ke-10, Korea Selatan ke-12, dan Cina ke-101.

Fakta bahwa Indonesia sampai sekarang masih sebagai negara berkembang dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi serta daya saing ekonomi yang rendah merupakan ironi yang memilukan. Betapa tidak, Indonesia dikaruniai Allah SWT modal dasar (potensi) yang lengkap untuk menjadi bangsa besar yang maju dan sejahtera. Modal dasar itu, pertama berupa 247 juta jiwa penduduk (terbesar keempat di dunia) dengan kualitas dasar yang sebenarnya bagus, berarti merupakan human capital dan potensi pasar domestik yang sangat besar. 

Kedua adalah kekayaan alam yang melimpah dan beraneka ragam, baik yang terdapat di darat, maupun laut. Dan, ketiga adalah posisi geoekonomi yang sangat strategis karena 45 persen dari seluruh barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS setiap tahunnya dikapalkan melalui wilayah laut Indonesia (UNCTAD, 2012).

Selain akses kepada pasar global yang mudah dan terbuka lebar bagi segenap produk dan jasa (goods and services) nasional kita, Indonesia semestinya menjadi penentu dan penerima manfaat terbesar dari sektor transportasi laut. Celakanya, sejak 1987 sampai sekarang Indonesia terus menghamburkan devisa rata-rata 16 miliar dolar AS per tahun untuk membayar jasa armada kapal niaga (pengangkut) asing (INSA, 2012).

Solusi pembangunan

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal, mulai dari kelembagaan politik yang menyuburkan budaya instan, premanisme, politik uang, dan korupsi; rendahnya etos kerja bangsa; sampai lemahnya penguasaan dan penerapan IPTEK dalam berbagai bidang kehidupan bangsa ini. Salah satu yang terpenting adalah karena kita belum punya visi pembangunan yang tepat dan benar serta dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan.

Visi pembangunan Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sekarang sangat dominan berorientasi pada daratan. Padahal, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang wilayah lautnya meliputi 75 persen dari luas seluruh wilayahnya.

Paradigma pembangunan berorientasi darat itu jelas bertentangan dengan jati diri (fitrah) fisik-geografis Indonesia dan diyakini sebagai penyebab ekonomi Indonesia menjadi kurang efisien dan rendah daya saingnya. Betapa tidak, biaya logistik di Indonesia merupakan yang termahal di dunia, sekitar 24 persen dari PDB. Sedangkan, negara-negara lain umumnya kurang dari 10 persen PDB-nya.

Mahalnya biaya logistik itu terutama disebabkan buruknya konektivitas kelautan akibat rendahnya kinerja sektor perhubungan laut yang meliputi pelayaran (angkutan laut), pelabuhan, dan industri galangan kapal. 

Oleh karena itu, secara paradigmatik, mulai pemerintahan baru pada Oktober 2014 kita harus melakukan reorientasi pembangunan, dari yang selama ini berbasis daratan (land-based development) ke berbasis lautan dan kepulauan (ocean and archipelagic-based development).  Pembangunan berbasis lautan dan kepulauan tidak berarti menegasikan pembangunan di darat. Sebaliknya, justru menyinergikan antara pembangunan di wilayah darat dan laut.

Kinerja sektor-sektor ekonomi di darat akan lebih produktif, eifisien, dan kompetitif karena mendatangkan sarana produksi dan distribusi produk akan lebih cepat dan biaya logistik lebih murah.

Dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berbasis industri yang inovatif, berdaya saing, dan ramah lingkungan di sepanjang wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, wilayah perbatasan, dan di sisi kiri-kanan sepanjang ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) maka Indonesia tidak akan hanya menjadi pasar empuk bagi beragam produk negara-negara lain seperti selama ini.

Indonesia justru bakal menjadi salah satu produsen dan pemasok utama beragam produk industri dan jasa dalam sistem rantai suplai global (Global Supply Chain System). Lebih dari itu, jutaan lapangan pekerjaan akan terbuka, kesejahteraan masyarakat meningkat, dan sumber-sumber kemakmuran (pertumbuhan ekonomi) bakal tersebar secara merata dan proporsional di seluruh wilayah NKRI.

Ini berarti bakal memecahkan permasalahan utama bangsa berupa pengangguran, kemiskinan, kesenjangan kaya versus miskin, dan disparitas pembangunan antarwilayah.  Pola pembangunan semacam inilah yang telah membuat Amerika Serikat, Jepang, dan Cina sukses menjadi negara maju, makmur, dan berdaulat. Pola pembangunan seperti “membakar obat nyamuk”, membanguan dari wilayah pesisir dan laut, kemudian dihubungkan dengan pembangunan di wilayah darat.

Ingat, sebelum penjajahan, Indonesia yang diwakili Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Kesultanan Islam pernah menjadi bangsa besar yang cukup makmur dan disegani masyarakat dunia karena ekonominya berbasis kelautan dan memiliki angkatan perang maritim yang tangguh. Lalu, sejak zaman penjajahan kita semakin tertinggal.

Boleh jadi karena kita lupa jati diri kita sebagai bangsa maritim dan kepulauan terbesar di dunia.  Rasanya, sangat relevan kita mencermati petuah salah satu pemenang nobel ekonomi Prof Walter Issard bahwa kondisi dan konstalasi geografi suatu negara menentukan maju-mundurnya suatu bangsa (geography is destiny)! n ed: irwan kelana

Box:

Kesenjangan Kaya Vs Miskin

Budaya konsumtif dan materialistis yang melanda kebanyakan orang-orang kaya, penguasa, dan politikus pun telah mengakibatkan kesenjangan antara warga negara yang kaya versus miskin kian melebar. Pada 2011, 40 orang terkaya memiliki harta yang sama dengan 60 juta orang termiskin di Indonesia (Tribunnews.com, 26 Oktober 2011). Kesenjangan antara kelompok kaya versus miskin yang semakin melebar juga dikonfirmasikan Koefisien Gini yang semakin membesar, dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,42 pada 2013.

Demikian pula halnya dengan disparitas pembangunan antarwilayah. Bayangkan, Pulau Jawa yang luas daratannya hanya 6,5 persen dari total luas wilayah daratan Indonesia menyumbangkan 60 persen bagi perekonomian (PDB) nasional diikuti Pulau  Sumatra sebesar 25 persen. Sedangkan, pulau-pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) yang luas daratnya sekitar 80 persen dari luas lahan Indonesia hanya berkontribusi sebesar 15 persen (Bappenas, 2012). 

Jika ketimpangan pembangunan antarwilayah yang sangat tajam ini tidak segera dikoreksi, bukan hanya urbanisasi dengan segudang permasalahannya yang menyeruak, melainkan juga bisa mengakibatkan inefisiensi (rendahnya daya saing) perekonomian nasional dan munculnya gerakan separatisme. n ed: irwan kelana

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement