REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah
“Sudahlah, apa yang kita protes 40 tahun kini sudah terjadi. Jadi, kalau nanti ada presiden ya situasinya akan ‘begini-begini saja’. Semua sudah stuck!” Pernyataan ini diungkapkan aktivis senior sekaligus tokoh peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974.
Menurutnya, apa yang dia takutkan bahwa pembangunan Indonesia akan terus berantakan karena disusun fondasi yang rapuh, yakni utang luar negeri, kini sudah tak bisa terelakkan. “Meski pembangunan kita bangkrut, konsep itu terus dipakai. Kita dicekoki bahwa tanpa utang dari modal luar negeri, kita tak bisa buat apa-apa. Akibatnya, negara ini hanya muter-muter di situ saja. Meski ganti rezim dan pemilu ya tetap saja tak maju-maju,” kata Hariman dalam acara peringatan 40 tahun Malari, pekan lalu.
Hadir dalam acara itu berbagai tokoh pergerakan, seperti Rahman Toleng, Akbar Tandjung, Adnan Buyung Nasution, AM Fatwa, dan aktivis lainnya. Diakui Hariman, untuk memecah kebuntuan ini, mau tak mau bangsa Indonesia harus bisa menemukan pemimpin yang tepat. Tanpa berhasil menemukannya, keadaan negeri ini ke depan akan semakin ruwet. Sebab, elite yang nanti akan muncul, meskipun hasil pemilu, tetap menampilkan sosok yang oligarkis.
Alhasil, yang menikmati kekayaan negara hanya segelintir orang. Data pun sudah mengatakan kekayaan negara hanya dinikmati lima persen penduduk. “Majalah Ekonomi Forbes menyebutkan, dari jumlah APBN Indonesia yang kini mencapai Rp 1.800 triliun, sekitar Rp 1.300 triliun dana APBN itu dinikmati oleh beberapa orang saja. Bayangkan itu,” ujarnya.
Lalu, sosok pemimpin apa yang diharapkan muncul? Hariman menyatakan, acuannya bisa melihat pada sosok mantan presiden Iran Ahmadinejad. Menurut dia, sosok Ahmadinejad itu adalah contoh konkret pemimpin yang baik. Kesederhanaannya tampak jelas bila melihat kaus kaki dan sepatunya yang biasa saja.
“Selain sederhana Ahmadinejad adalah orang yang bisa mendayung di antara dua ekstrem. Bila Iran sekarang punya posisi tawar yang kuat, itu ada peran dia. Nah, kita hendaknya punya presiden yang seperti itu. Tanpa itu, beban kita akan terus dan terus bertambah,” katanya.
Jadi, kata Hariman, paling tidak sosok presiden yang baru nantinya, meski tidak punya prestasi pada masa lalu dengan sangat menonjol, dia bisa mewujudkan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya banyak kalangan. Paling tidak, bila nanti ada persoalan yang muncul, dia adalah orang yang tidak terlalu disalahkan karena dia adalah orang baru. Paling tidak dia tidak bisa dikaitkan dengan masa lalu.
Data terakhir, beban utang Indonesia kini memang sudah luar biasa besar. Bahkan, sudah hampir mencapai taraf mencekik leher, yakni mencapai Rp 2.300 triliun. Sekitar separuh porsi utang itu, yakni mencapai Rp 1.200 triliun, dibuat dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini sudah mencapai sembilan tahun tiga bulan itu.
Beban presiden mendatang juga akan semakin berat bila melihat posisi indeks pembangunan manusia Indonesia di antara negara-negara dunia. Posisi Indonesia tetap dan terus saja tak maju-maju atau membaik. Bahkan, posisi Indonesia kalah dengan posisi yang diraih oleh Vietnam. Ini memang membuat ‘miris’ sebab Vietnam pada 1976 masih perang saudara yang berkepanjangan.
Atas kondisi itu maka tepat apa yang dikatakan aktivis hukum senior dan mantan ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2004-2009, Adnan Buyung Nasution, dalam pidatonya pada peringatan Malari itu. “Agar kita bisa bertemu pemimpin yang adil, marilah niat berjuang terus sampai akhir hayat kita!” n ed: muhammad fakhruddin
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.