Senin 20 Jan 2014 12:13 WIB
Pintu Air Katulampa

Bendung Katulampa, Beton Belanda yang Istimewa

Pintu Air Katulampa Bogor
Foto: Republika/Agung Fatma Putra
Pintu Air Katulampa Bogor

REPUBLIKA.CO.ID, Bangunan beton melintang sepanjang 74 meter itu banyak didatangi para pejabat. Mulai dari gubernur, menteri, dan warga yang ingin tahu. Dua presiden terakhir republik ini, Megawati dan SBY, bahkan pernah menelepon langsung ke pos penjaga. Bendung Katulampa, terutama di musim penghujan, biasa dihujani perhatian. Informasi dari bendung peninggalan pemerintah kolonial Belanda ini bisa membuat pemerintah dan masyarakat waswas. 

Berlokasi di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat, Katulampa menjadi penting karena perannya sebagai corong informasi terdini soal debit air Kali Ciliwung. Dari sini pemerintah dan warga Jakarta bisa segera tahu ketika banjir sedang meluncur ke wilayah mereka.

Terutama di musim penghujan, sang penjaga, Andi Sudirman (46 tahun), menjadi amat sibuk. Ia hampir selalu menanggapi berbagai panggilan lewat telepon, ponsel, handy-talky. Di meja kerjanya beberapa unit radio amatir terpasang.

Bendungan ini awalnya disebut Katoelampa-Dam, selesai dibangun dan diresmikan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada 1912 dengan masa perencanaan dimulai sejak 1889. Mengutip keterangan para ahli sejarah, banjir hebat yang melanda Batavia (sekarang Jakarta) pada 1872 ditengarai menjadi latar belakang pembangunan bendung tersebut.

Selain untuk memberikan peringatan dini soal debit air, bendung karya Ir Van Breen tersebut juga dibuat sebagai pintu saluran irigasi untuk mengairi 5.000 hektare sawah di sekitar bendung pada masa itu. Saluran ini juga dimaksudkan sebagai pemasok cadangan air baku untuk warga Ibu Kota.

Saluran air atau sodetan itu kini dikenal sebagai Kali Baru Timur, yang mengalir melewati Depok, Cilangkap, hingga bermuara di Tanjung Priok, Jakarta Utara. “Kini setelah sawah tidak ada, giliran pabrik-pabrik yang memanfaatkannya,” ujar Andi.

Berulang kali lelaki berpeci itu memuji fasilitas ciptaan bangsa Belanda tersebut. Menurutnya, konstruksi bangunan Bendung Katulampa benar-benar kokoh dengan besi-besi yang tahan karat. “Beda lah sama besi-besi zaman sekarang,” katanya.

Perancang bangunan ini tak hanya memikirkan pengendalian banjir, tapi juga irigasi hingga menyiapkan pasokan air bagi keseharian warga Ibu Kota. Semua fasilitas itu, menurut Andi, kini nyata dirasakan manfaatnya.

Dadang Haerdarsono Padmadireja, budayawan Bogor, menuturkan, Ciliwung dan Cisadane merupakan dua sungai penting bagi Kerajaan Pakuan Pajajaran. Dua sungai yang mengapit kerajaan ini juga memainkan peranan penting bagi keberlangsungan rakyat di kerajaan tersebut.

Sungai Ciliwung yang kian hari lebarnya menyusut ini menjadi jalur transportasi dan garis pertahanan. “Belanda mengerti arti penting Sungai Ciliwung sehingga dibangunlah Bendung Katulampa,” ujarnya.

Istilah “bendung”, bukan “bendungan”, yang dipakai untuk merujuk fasilitas pengaturan air tersebut memiliki penjelasan ilmiah. Kementerian Pekerjaan Umum mendefinisikan bendung (weir) berarti pembatas yang dibangun melintasi sungai dengan tujuan mengubah karakteristik aliran sungai. Sedangkan bendungan (dam), yang umumnya berukuran jauh lebih besar, memiliki fungsi menahan laju air dan menyimpannya untuk waduk atau danau.

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui perbedaan tersebut sehingga ada saja yang berpikir Katulampa bisa mengendalikan air, seperti kejadian yang sudah-sudah. Misalnya, saat banjir besar di Jakarta tahun 2013, beredar isu bahwa penyebabnya pintu air Katulampa dibuka. Padahal, Katulampa tidak bisa menahan laju air.

Sebagai fasilitas pengatur aliran air, bangunan Bendung Katulampa bisa dibedakan menjadi dua, yakni bangunan utama yang mengalirkan air ke Ciliwung serta bangunan lainnya yang mengatur aliran air ke sungai sodetan. Terdapat sepuluh rongga pada bangunan utama, tiga di antaranya dilengkapi dengan daun pintu yang bisa dinaikturunkan sesuai kebutuhan dengan tuas pemutar hidrolik.

Sementara pada bangunan pengatur sodetan, terdapat lima rongga dengan sepuluh daun pintu pada bagian depan dan belakangnya. Lima merupakan daun pintu utama, sedangkan lima lainnya merupakan daun pintu cadang jika sewaktu-waktu daun-daun pintu utama macet.

Pada salah satu dinding beton di bendung utama, di jalur lalu lintas air, tergambar skala pengukur ketinggian air. Dari sana bisa diketahui berapa ketinggian air, apakah di bawah 50 sentimeter (cm) atau dalam keadaan “normal”, “siaga empat” (50-80 cm), “siaga tiga” (80-150 cm), “siaga dua” (150-200 cm), atau “siaga satu” (di atas 200 cm).

Ketika terjadi peningkatan debit air di Bendung Katulampa, sekitar tiga hingga empat jam kemudian limpahan air tersebut akan sampai di Pintu Air Depok dan 11 jam kemudian air akan tiba di Pintu Air Manggarai.  n c54 ed: wulan tunjung palupi

---

Pos Bersahaja di Katulampa

Tahun lalu Bendung Katulampa memiliki closed circuit TV (CCTV) yang berguna untuk pengamatan ketinggian air. Namun, petir menyambar CCTV itu akhir tahun lalu dan kini belum ada penggantinya.

Alhasil, kini pengamatan dilakukan dengan mata telanjang. Meski dengan adanya CCTV, pengamatan manual juga tetap dilakukan. Ketika air besar, seorang petugas akan memantau pengukur air dan melaporkan ke pos penjaga melalui handy-talky.

Di antara kedua sungai atau di samping kiri bangunan utama bendung, terletak pos penjaga yang bentuknya menyerupai rumah penduduk, menghadap ke arah bendung. Terdapat beberapa ruangan di sana, mencakup ruang utama, kamar tidur, kamar mandi, dapur, gudang, serta mushala.

Di salah satu sudut di ruang utama, terdapat meja kendali komunikasi yang bersahaja. Ada sebuah pesawat telepon, beberapa unit radio amatir, serta tumpukan berbagai berkas. Terkait keberadaan mushala di pos tersebut, ada cerita menarik di baliknya.

Mushola berukuran 6x8 meter yang sekarang berdiri di bagian belakang pos utama itu dibangun atas permintaan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) pada 2013 lalu. Ketika itu, sang Gubernur secara mengejutkan datang membawa rombongan memastikan kesiapan bendung menjelang musim banjir.

“Saat pak Jokowi mau shalat, dia menanyakan mushala. Yang saat itu belum ada,” kata penjaga Bendung Katulampa Andi Sudirman.

Di bendung ini, para petugas juga berkali-kali menemukan jasad manusia yang terdampar di sana. “Tiga kali kami pernah menemukan mayat, salah satunya korban kecelakaan di Tol Jagorawi yang jatuh ke sungai,” ujarnya.

Selain, soal penemuan mayat, petir juga menyambar fasilitas bendung. Sudah tak terbilang unit televisi, komputer, termasuk perangkat CCTV yang rusak karena sambaran petir.

Andi mengaku dia sedikit trauma dengan petir. Saat hujan lebat, dia sedang memeriksa ketinggian air. Petir menyambar dan dia terpental hingga sepuluh meter. Kini tiap kali terdengar suara geledek, dia langsung sigap mematikan aliran listrik di kantornya.

Seperti umumnya bangunan bendung, konstruksi Bendung Katulampa melintang memotong sungai. Bagian atas bendung berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Sukaraja. Dengan lebar sekitar satu meter, jembatan berlapis aspal itu tak pernah sepi dilewati warga.

Petugas yang berjaga di pos pemantauan Katulampa harus siap menjawab berbagai panggilan lewat seabrek alat komunikasinya.

Selain Andi dan rekannya, pos tersebut tak pernah sepi. Tak hanya lelaki dan perempuan dewasa, tetapi anak-anak dan balita ada di sana.

Mereka adalah para warga sekitar yang penasaran menengok suasana bendung yang sedang ramai diberitakan itu. Mereka kerap masuk menduduki sofa dan kursi-kursi yang tersedia di pos pemantau tersebut.

Fitri Wahyu (41) merupakan satu “wisatawan banjir” yang ditemui di Bendung Katulampa awal pekan ini. Ibu rumah tangga warga Bogor Timur ini mengaku penasaran dengan bendung yang kerap disebut-sebut oleh media massa itu.

“Saya datang bersama rombongan, suami, anak ponakan, dan saudara-saudara. Pakai tiga motor. Sengaja datang, habis penasaran sering dengar-dengar tentang Katulampa di TV. Baru kali ini ke sini.”

 

Bendung Katulampa memang sudah tak ubahnya tempat wisata, terlebih di musim hujan. Banyak yang sengaja datang ke sana karena rasa penasaran. Tak cuma warga Bogor, warga Jakarta pun kerap mampir ke sini.

Budayawan Bogor Dadang Haerdarsono Padmadireja juga mengamini bahwa sejak puluhan tahun silam Bendung Katulampa memang sering menjadi tempat rekreasi warga.

Di pos Bendung Katulampa ada enam orang staf yang bertugas. Rata-rata mereka adalah pemuda setempat. Selain memberi laporan soal debit air, tugas sehari-harinya, yakni merawat fasilitas bendung serta membersihkan sampah di mulut bendung dua kali dalam sepekan. Sekali membersihkan sampah, tak tanggung-tanggung mereka bisa menjaring 15 karung limbah.

Di pos pemantau itu sejumlah piagam penghargaan tergantung di dinding dan dihimpun dalam lemari kaca di salah satu sudut ruangan. Sebagian besar piagam-piagam tersebut menyatakan rasa terima kasihnya atas kerja keras para perawat Bendung Katulampa dan juru informasi yang mengabarkan ketinggian air.

Sejauh ini, Andi mengaku senang dan merasa mempunyai kepuasan tersendiri dalam menjalani pekerjaannya. Walau demikian, ketika ditanya harapannya, Andi tak sungkan menitip pesan agar para pejabat yang berwenang lebih memperhatikan fasilitas dan kesejahteraan para pekerja di sana. n c54/ed: wulan tunjung palupi

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement