REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengembangan keterampilan dan pemberian dana mengantarkan difabel (penyandang cacat) mandiri. Dompet Dhuafa (DD) membina mereka melalui pemberdayaan difabel produktif dan tunanetra berdaya. “Sudah setahun terakhir ini kami jalankan,” kata General Manager Pengembangan Ekonomi DD Tendi Satrio, Senin (20/1). Ada dua kelompok yang dibina, yaitu difabel fisik berjumlah 30 orang dan tunanetra sebanyak 25 orang.
Mereka kemudian dibagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil jumlahnya. Satu kelompok terdiri atas lima hingga 10 orang agar pembinaan keterampilan efektif. Difabel menerima dana untuk modal yang diberikan Rp 150 juta per tahun.
Sedangkan, tunanetra menerima Rp 100 juta per tahun. “Dana itu berasal dari dana zakat,” kata Tendi. Ia mengatakan, pembinaan dilakukan tiap dua pekan sekali. Kelompok-kelompok kecil itu bernaung di bawah koperasi yang pembentukannya difasilitasi DD.
Dana dari DD dikelola dalam bentuk simpanan pokok dan wajib sehingga modal bisa terus berputar. Para difabel fisik menjalankan usaha dengan membuat aneka jenis makanan, konveksi, penjualan pulsa, atau warung sembako.
Para tunanetra berjualan kerupuk dan obat herbal. Penjualan mereka lakukan secara keliling. Mereka membeli kerupuk dalam jumlah besar, kemudian dijual secara eceran. Saat ini, lokasi pembinaan difabel ada di Rawa Lumbu, Bekasi.
Tunanetra yang dibina berada di Pamulang, Tangerang Selatan. Dua lokasi tersebut dipilih karena banyak difabel yang bermukim di sana. Tendi mengatakan, sebenarnya para penyandang cacat pernah menerima pelatihan dari pemerintah.
Namun, mereka dilepas begitu saja setelah pelatihan. Tak ada bekal modal atau akses informasi yang mereka dapatkan. “Lewat program yang berjalan selama ini, kami ingin mereka mandiri secara materiil, manajemen, dan pengetahuan,” jelas Tendi. Tendi mengatakan, program ini akan terus berjalan. Tahun ini, rencananya jumlah difabel yang dibina akan bertambah.
Ketua kelompok difabel di Rawa Lumbu, Bekasi, Paini mengaku sangat terbantu. Terutama, kata dia, dari segi jejaring. Lewat program pemberdayaan, ia memperoleh informasi tentang pameran produk dan akses ke Kementerian Tenaga Kerja.
Pelatihan manajemen, pengetahuan mengenai kemasan produk dan cara produksi yang efektif juga ia peroleh. Modal pun membantu perputaran usaha. “Dengan bantuan modal, saya bisa mengantongi keuntungan Rp 10 juta hingga Rp 12 juta per bulan,” katanya.
Bila ada pameran, Paini mampu mendulang keuntungan lebih besar. Namun, ia tak menyebutkan kisarannya. Paini memimpin kelompok difabel yang dibina DD sebanyak 25 orang. Sebagian besar mereka menggunakan kursi roda.
Dalam kelompok Paini, para difabel memiliki usaha yang berbeda-beda. Ada yang membuat kue, gorengan, menyediakan jasa pijat, menjahit, berjualan minuman, dan menjual pulsa. Paini sudah selama tujuh tahun membuat kue kering.
Paini mempekerjakan lima orang difabel yang ada di lingkungan sekitarnya. Kemudian, ia mengajukan diri untuk mengikuti program pemberdayaan ekonomi dari Dompet Dhuafa. Selain membuat kue kering, Paini membuat pecel pincuk dan makanan siap saji.
Paini mengaku, dia yang langsung terjun mengajari para difabel membuat kue. Keterampilan semacam ini, kata dia, membantu difabel memiliki kerja. “Kami paling antimengemis. Kami ingin membuktikan bisa mandiri dan bermanfaat bagi orang lain.” n ani nursalikah ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.