Rabu 22 Jan 2014 08:17 WIB
Nostalgia

Mengatasi Banjir: Dari Kanal ke Sudetan

Abah Alwi
Abah Alwi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alwi Shahab

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta serta Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sepakat membuat sudetan Kali Ciliwung ke Kali Cisadane untuk mengatasi banjir di wilayah Jakarta, yang kini sudah meluas ke wilayah Tangerang, Kabupaten Banten. Namun, Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar menolak mentah-mentah proyek raksasa yang menelan dana Rp 3 triliun itu. Dia berpendapat, hal tersebut sama saja memindahkan banjir dari Jakarta ke wilayahnya.

Dalam rencana mengatasi banjir juga disetujui pembangunan dua waduk di Megamendung, Bogor, masing-masing di Desa Cipayung dan Desa Sukamahi yang akan dimulai awal 2015. Sebelumnya juga ada rencana membuat sodetan dari bendungan Depok yang konon juga ditolak wali kota Depok. Warga Jakarta selama ini disibukkan dengan banjir kiriman dari yang berpusat dari Bendungan Depok.

Membuat sudetan Ciliwung pernah dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk mengatasi banjir di Batavia. Melalui sudetan dibangunlah kanal-kanal yang jumlahnya belasan agar air dapat dialirkan ke laut.

Beberapa kanal masih bisa kita saksikan dewasa ini. Seperti kanal Ciliwung dari  Harmoni-Pasar Baru-Gunung Sahari-Ancol. Seorang perwira zeni VOC di Batavia Johannes Rach (1720-1783) melukiskan jalan yang menghubungkan antara kawasan samping kiri Museum Sejarah Jakarta hingga Stasiun Beos yang kini merupakan salah satu pusat kemacetan di Jakarta Kota pada masa itu merupakan kanal yang dalam Belanda disebut gracht.

Tijgergracht atau Kanal Harimau adalah nama kanal ini. Lukisan Rach memperlihatkan di sisi kiri dan kanan terdapat rumah-rumah mewah sebagai tempat tinggal para bule. Di antara kanal, tampak perahu berlalu-lalang. Pada umumnya perahu-perahu ini membawa air minum dan kayu bakar untuk di distribusikan ke rumah-rumah. Karena itu, rumah-rumah di sini sengaja dibuat tangga ke arah dermaga.

Di sebelah kanan, menurut lukisan Rach merupakan tempat pembuangan limbah masuk ke dalam kanal. Hingga dapat dimaklumi apabila kanal tersebut mengeluarkan bau tidak sedap terutama pada musim kemarau.

Pelukis yang sekaligus perwira Kompeni melukisan suasana jalan-jalan di Batavia pada abad ke-18. Jalan-jalan di sekitar kanal dibuat dari tanah liat dan tidak beraspal. Bagi pejalan kaki tersedia trotoar pada kedua sisinya. Trotoar ini tidak boleh digunakan para budak kecuali bila mereka sedang melayani majikan mereka.

Hampir setengah penduduk Batavia kala itu adalah para budak belian. Mereka dengan patuh melayani para majikannya seperti memayungi, membawa tempat dan kotak sirih. Kala itu, status sosial seseorang ditentukan dengan jumlah budak yang mereka miliki. 

Setiap kali banjir besar datang melanda Jakarta, beberapa hal berikut ini sering kali disinggung atau turut dibicarakan. Terutama, mengenai keberadaan Bendung Katulampa, alat pemantau debit air atau ketinggian air, sebagai peringatan dini mengenai banjir yang kemungkinan bisa merendam wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Bangunan  ini terdapat di Kelurahan Katulampa, Bogor. Selain untuk acuan banjir, juga sebagai sarana irigasi bagi lahan seluas 5.000 hektare yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendungan. Pada saat musim hujan, bendungan ini bisa dilewati air dengan rekor debit 630 ribu liter/detik atau ketinggian 250 sentimeter, yang pernah terjadi pada tahun 1996, 2002, dan 2007.

Bendung Katulampa mulai dibangun 1889, sejak banjir besar melanda pada 1872. Bandung Katulampa mulai dioperasikan sejak tahun 1911 dan berfungsi hingga sekarang.  

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement