REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk kesekian kalinya pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) menemui jalan buntu. Pertemuan panitia kerja (panja) RUU JPH Komisi VIII dengan pemerintah, Rabu (22/1), belum menghasilkan kesepakatan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Bahrul Hayat mengatakan, belum tahu kapan pertemuan selanjutnya diadakan kembali. Dalam rapat yang berlangsung tertutup itu, Bahrul mengatakan, pembahasan masih seputar mengulang kembali pokok-pokok pikiran. "Bahan yang disampaikan juga masih sama dengan yang lalu," ujarnya saat ditemui usai rapat.
Pokok pikiran tersebut, yakni kelembagaan. Kelembagaan dibedakan dengan peran. Menurut Bahrul, kelembagaan yang diusulkan pemerintah sama dengan dewan. Hanya, DPR menginginkan adanya lembaga baru yang berdiri di bawah presiden langsung. Sedangkan, pemerintah mengusulkan lembaga itu di bawah Kemenag.
Menurut Bahrul, hal itu sejalan dengan UU Kementerian Agama yang rohnya diharapkan membentuk lembaga-lembaga nonkementerian. Pemerintah mengusulkan agar peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap dalam fungsi syariah dan kehalalan. Meski, badan pemerintah, sertifikasi tetap dilakukan MUI.
Dalam usulannya, pemerintah menjelaskan, MUI mempunyai tiga kewenangan. Kewenangan itu adalah sertifikasi bagi auditor halal, menetapkan fatwa atas kehalalan produk, dan bersama-sama dengan Badan JPH yang baru membubuhkan tanda tangan pada sertifikat halal yang diterbitkan Badan. Auditor bisa pegawai negeri sipil (PNS) atau non-PNS yang memenuhi syarat kompetensi teknis. Pemerintah nantinya menyediakan pelatihan.
Terkait hal itu, RUU JPH masih mendapatkan ganjalan dari MUI. Bahrul mengatakan, mungkin MUI ingin menjalankan apa yang selama ini dilakukannya. Selama ini, penetapan kehalalan suatu produk memang dilakukan MUI. "Mohon dilihat juga lembaga (baru) ini harus lembaga publik yang menerbitkan sertifikat publik. Tidak boleh lembaga swasta murni atau ormas. Bedakan antara fungsi administrasi pemerintahan dan syariah," ujar Bahrul
Ketua Panja RUU JPH Ledia Hanifa Amaliah berdalih, ditundanya pembahasan RUU karena keterlambatan penyerahan konsep yang utuh dari pemerintah. Sebelumnya, konsep yang diberikan pemerintah hanya sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Konsep terbaru yang diberikan untuk dibahas dalam rapat baru diterima pada Selasa (21/1) sore.
Padahal, pemerintah diberi tenggat waktu penyerahan pada 2 Desember 2013 sebelum DPR memasuki masa reses. Dalam konsep terbaru yang diberikan pemerintah, menurut Ledia, juga terdapat perubahan-perubahan istilah. "Karena itulah kami perlu mempelajarinya lagi. Ada perubahan-perubahan yang mungkin mereka (pemerintah) anggap tidak mendasar. Tapi, menurut kami, menjadi mendasar karena ini berkaitan dengan UU," ujar Ledia.
Selain itu, DPR juga menerima masukan dari MUI, sehingga perlu disinkronkan dengan konsep DPR dan pemerintah. Tapi, Komisi VIII tidak berencana memanggil kembali MUI. Pembahasan akan dilakukan masing-masing fraksi di Komisi VIII. Panja JPH juga akan melakukan rapat internal untuk menerima berbagai masukan.
Saat disinggung mengenai peran dan kewenangan MUI, Wakil Ketua Fraksi PKS itu mengatakan, ketika berbicara UU, hal itu harus menjadi kemaslahatan buat umat. Dia mengatakan, masih harus dilakukan musyawarah untuk mencari jalan keluarnya. Tupoksi MUI tetap karena merupakan pihak yang pertama kali melakukan sertifikasi halal. Bahkan, MUI telah diakui di dunia internasional.
Memadukan konsep antara DPR, penerintah, dan MUI diakui Ledia menjadi pekerjaan rumah (PR) baru yang harus diselesaikan panja. Ia menambahkan, siapa pun penyelenggaranya, kewenangannya harus jelas dan diatur dalam UU. Selama ini, kewenangan ada di beberapa tempat.
Ledia mengaku, ingin segera menuntaskan RUU JPH sebelum masa kerja DPR tahun ini berakhir. Hal itu berbeda dengan pernyataan Bahrul Hayat yang tidak yakin RUU JPH akan selesai tahun ini. n ani nursalikah ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.