REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya pembuatan sodetan yang dilakukan untuk mengatasi banjir bukan merupakan solusi permanen. Kebijakan tersebut harus dibarengi dengan langkah jangka panjang lainnya.
''Sodetan memang bisa menyelesaikan, namun hanya sementara,'' ujar peneliti senior Pusat Penelitian Geotoknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jan Sopaheluwakan di Gedung LIPI, Kamis (23/1). Prinsip sodetan mencoba mengirim air secepat mungkin ke lautan.
Langkah penanggulangan banjir harus dibarengi dengan penataan ruang yang cerdas. Di antaranya, dengan mengembalikan ruang hijau di daerah selatan Jakarta dan ruang biru untuk wilayah resapan di utara Jakarta.
Menurut Jan, kecenderungan negara-negara di dunia berupaya mencoba menahan air selama mungkin di daratan. Tindakan ini dilakukan untuk menghadapi kebutuhan ketersediaan air pada musim kemarau.
Jan mengungkapkan, solusi jangka panjang harus mendapat perhatian dari pemerintah. Penanganannya memerlukan koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Peneliti LIPI lainya, Edi Prasetyo Utomo, mengatakan, untuk mengatasi banjir Jakarta memang ada dua cara, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka pendek bisa dilakukan normalisasi sungai dan waduk supaya berfungsi dengan benar.
Salah satu solusi yang ditawarkan LIPI, yakni melalui pengelolaan kepadatan tata ruang dengan membangun waterfront city.
''Untuk mengatasi banjir, kita harus mengelola kepadatan tata ruang,'' ujar Jan. Saat ini, kondisi kepadatan tata ruang tidak sesuai dengan yang direncanakan. Dampaknya, kata Jan, akan ada relokasi permukiman warga untuk dijadikan ruang hijau dan biru. Sasarannya adalah kelas menengah yang saat ini berada di pinggiran Jakarta.
Baru dalam jangka waktu menengah kalangan ini kembali menghuni permukiman di tengah kota dengan konsep hunian vertikal. Di samping itu, kata Jan, diperlukan relokasi permukiman yang daerahnya sering kali terendam banjir. Pertimbangan relokasi juga dikarenakan daerah tersebut tidak mempunyai nilai tambah.
Untuk penerapannya, pada tahap awal dapat dilakukan di wilayah Jakarta Barat bagian utara. Kawasan tersebut nantinya menjadi ikon kota yang disebut dengan waterfront city.
Menurut Jan, tata kota ini terdiri atas kanal-kanal dan danau buatan yang dikelilingi pulau-pulau buatan. Nantinya, air tidak disalurkan secepatnya ke laut, melainkan ditampung di kanal-kanal atau danau buatan. Sistem pengaturan ini dilakukan melalui pembuatan manajemen air.
Namun, lanjut Jan, dalam penerapannya diperlukan pemerintahan yang konsisten dengan rencana jangka panjang. Minimal, konsep ini dilakukan pada tiga periode kepemimpinan Jakarta.
Konsep ini, kata Jan, sudah disampaikan kepada Dirjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dan memenangkan sayembara. Rencananya, akan disampaikan pula kepada Pemda DKI Jakarta.
Sementara itu, banjir yang mulai surut sejak Kamis pagi (23/1) menyisakan tumpukan sampah serta lumpur yang memenuhi badan jalan maupun rumah warga. Dinas Kebersihan DKI dan Suku Dinas Kebersihan pun tampak di berbagai lokasi banjir yang mulai surut.
“Kami bawa alat dan bersih-bersih ke lokasi yang sudah kering'', ujar Wahyudi, kasi Penanggulangan Sampah Sudin (Suku Dinas) Kebersihan Jakarta Selatan. Sebanyak 80 personel bertugas di berbagai lokasi banjir yang mulai surut. Ia menuturkan, total sampah yang diangkut mencapai 600 ton hanya di wilayah Jakarta Selatan. Volume sampah terbanyak di wilayah Jakarta Selatan terdapat di dua titik, yaitu di Rawajati dan Tebet. n riga nurul iman/c56 ed: wulan tunjung palupi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.