REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Forum Ekonomi Dunia yang berlangsung di Davos, Swiss, telah berakhir. Forum yang dihadiri oleh para pemimpin di dunia itu menyimpulkan bahwa ekonomi dunia akan mengalami perbaikan, tetapi masih dibayangi oleh ketidakpastian.
Dalam pertemuan empat hari tersebut, lebih dari 2.500 partisipan dan 100 negara, termasuk 1.500 pimpinan bisnis dan lebih dari 40 kepala negara, bertukar pikiran mengenai masalah-masalah dunia, seperti perbaikan ekonomi, proyeksi keuangan, energi baru, kesehatan, dan perubahan iklim. Beberapa pemimpin ekonomi dunia, dalam pidatonya di Davos, menekankan pada pertumbuhan.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam pidatonya mengingatkan dunia bahwa Asia telah menjadi mesin pertumbuhan dunia. Pertumbuhan regional Asia diperkirakan sekitar 7,2 persen. Ekonomi terbesar kedua dunia, Cina, diperkirakan tumbuh 7,5 persen atau lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya yang hanya 7,3 persen.
Pertumbuhan Cina akan naik kembali pada semester II 2013, terutama karena akselerasi investasi. Kemajuan lebih lanjut diperlukan dalam menyeimbangkan permintaan domestik dan investasi secara efektif untuk mencapai stabilitas keuangan. India juga sudah pulih dalam satu dekade ini dengan proyeksi pertumbuhan sebesar enam persen. Untuk Indonesia, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan tumbuh 5,3 persen.
Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde, dan Presiden Bank Sentral Eropa Mario Draghi, seperti yang dikutip Xinhua pada Ahad (26/1), pun sepakat bahwa ekonomi dunia tengah pulih. Namun, ekonomi global masih dibayangi oleh ketidakpastian, resiko, dan tantangan.
Isu politik yang menjadi tantangan, di antaranya krisis di Suriah dan program nuklir Iran. Presiden Iran Hassan Rouhani yang hadir dalam pertemuan Davos tersebut memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang fokus pada kestabilan dan keamanan dunia. Untuk pidatonya, ia mengambil tema konsiliasi, moderasi, dan investasi.
Rouhani, seperti yang dikutip dari Aljazirah pada Ahad (26/1), mengatakan bahwa tidak ada ekonomi di dunia yang bisa tumbuh tanpa memperhatikan masalah sosial. Menurutnya, tak ada negara yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia juga mengatakan bahwa resesi ekonomi yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa semua negara berada dalam satu perahu yang sama.
“Jika kita tak memiliki pilot-pilot yang bijak, kita akan memiliki masalah,” katanya. Ia menambahkan, masalah-masalah terbaru memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi harus didasarkan pada keadilan sosial dan kepentingan semua orang. Sehingga, sebuah negara dapat memiliki sistem kepemimpinan jangka panjang dan orang-orang dapat meraih keuntungan darinya.
Saat para pemimpin dunia mendiskusikan pertumbuhan, Oxfam, organisasi nirlaba asal Inggris mengatakan, negara-negara kaya di dunia telah mengeluarkan hukum seenaknya, mengindahkan demokrasi, dan menciptakan kesenjangan di muka bumi. Kesenjangan telah di luar kendali. Riset Oxfam menunjukan bahwa 85 orang terkaya di bumi memiliki jumlah kekayaan dari setengah populasi di dunia.
Kepala Kebijakan Publik Oxfam Max Lawson mengatakan, hal tersebut merupakan sesuatu yang buruk. “Tidak masuk akal jika kekayaan dari setengah populasi di dunia sama dengan 85 orang terkaya di dunia,” ujarnya. Kesenjangan tersebut, menurutnya, berdampak buruk. Oxfam menyebutkan bahwa orang-orang kaya di dunia mengacuhkan proses demokrasi dan membuat kebijakan untuk kepentingan diri sendiri. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.