REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Kelompok oposisi yang telah menggerakkan aksi demonstrasi antipemerintah di Thailand menyeru militer untuk melindungi demonstran. Seruan itu dilontarkan setelah seorang politikus pendukung oposisi, Sutin Tharatin, ditembak mati dalam satu serangan di sebuah TPS di wilayah Bang Na, Bangkok, Ahad (26/1).
Seperti dilaporkan Bangkok Post, Senin (27/1), tokoh oposisi yang memimpin gerakan demonstrasi Suthep Thaugsuban mendesak militer untuk membentuk unit khusus demi melindungi dan memberikan keamanan terhadap para demonstran.
"Aparat militer dapat membentuk pos pemeriksaan di sekitar lokasi unjuk rasa untuk memeriksa senjata yang kemungkinan dibawa oleh pihak-pihak tertentu dan memberikan perlindungan," kata Suthep di simpang Pathumwan beberapa jam setelah penembakan fatal itu terjadi.
Ia menduga, penembakan tersebut dilakukan oleh unit perang khusus Kamboja, yang menurutnya dibawa ke Thailand oleh tokoh senior kepolisian untuk menyerang para demonstran. "Hak-hak dan kebebasan warga dijamin dalam Undang-Undang. Jadi, kami berharap militer menyadari pertempuran ini dan akan melindungi kami," katanya.
Meski begitu, ia tidak meminta militer melakukan kudeta. Suthep juga mengkritik keputusan pemerintah yang memberlakukan status darurat di Bangkok untuk meredam aksi unjuk rasa.
Sementara, partai oposisi utama di Thailand, yakni Komite Reformasi Demokrasi Rakyat (PDRC), menyatakan, PM Yingluck Shinawatra dan Menteri Tenaga Kerja Chalerm Yubamrung yang bertugas mengawasi penerapan status darurat, harus bertanggung jawab atas serangan itu.
Sutin, yang berusia 52 tahun, ditembak mati di luar TPS di wilayah Bang Na, sementara 10 orang lainnya terluka dalam serangan itu. Para korban yang luka dirawat di rumah sakit terdekat, sedangkan Sutin meninggal dunia di RS Vibraham.
Serangan terjadi setelah Sutin yang memimpin kelompok demonstran bernegosiasi dengan pemimpin TPS setempat. Pemimpin TPS akhirnya setuju untuk menghentikan pemungutan suara. Setelah itu, Sutin dan para demonstran lainnya beranjak pergi. Di luar dugaan, ada sekelompok orang yang membawa bendera merah, sedang menunggu mereka.
Orang-orang itu pun kemudian menembaki para demonstran. "Saya lihat Sutin dan tiga orang lainnya ditembak di sebuah truk bak terbuka," kata Somnuek Chaisiri, salah satu demonstran.
Seorang aparat kepolisian, Letkol Kunthon Prachuapmoh, yang merupakan kandidat dari Partai Pheu Thai yang berkuasa, dituduh mendalangi aksi kekerasan itu. Namun, ia membantah tudingan itu. ''Saya tidak terlibat dalam kekerasan itu," katanya.
Sutin menjadi korban kesepuluh yang tewas dalam rangkaian aksi kekerasan di Thailand, akhir-akhir ini. Sementara puluhan lainnya terluka sejak demonstrasi antipemerintah pecah November lalu.
Insiden di Bang Na terjadi ketika para demonstran menggelar aksi untuk memblokade TPS-TPS di Bangkok yang sedang menggelar pemungutan suara awal menjelang pemilu 2 Februari. Seorang pejabat senior mengatakan, sebanyak 45 dari 50 TPS di Bangkok telah diblokade oleh para demonstran.
Chris Baker, pengamat sekaligus sejarawan di Bangkok mengatakan, aksi kekerasan tersebut semakin menambah tekanan kepada Yingluck untuk menunda pemilu dini. "Kekerasan itu akan memperlemah posisi pemerintah. Para demonstran akan menyalahkan pemerintah atas hal ini," kata Baker.
Menteri Luar Negeri SurapongTovichakchaikul, yang juga sebagai wakil Perdana Menteri, mengatakan, blokade TPS pada pemungutan awal ini merupakan serangan yang serius. Menurut dia, para demonstran telah menggunakan kekerasan untuk mencegah masyarakat memberikan suara.
Pemerintah sebenarnya telah mengancam menjatuhkan hukuman penjara maupun denda bagi siapa pun yang mencoba menghentikan pemungutan suara. Tapi rupanya, ancaman itu sama sekali tak diindahkan oleh kubu demonstran.
Pertengahan pekan lalu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa pemilu dapat ditunda. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menginginkan hal serupa. Selasa (28/1), KPU dan Yingluck dijadwalkan menggelar pertemuan untuk membahas pemilu, termasuk kemungkinan untuk menunda pelaksanaannya. n dessy suciati saputri/ap ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.