Jumat 21 Feb 2014 12:08 WIB

Sebagian Berkas Perkara Hilang

Gedung Kejaksaan Agung
Gedung Kejaksaan Agung

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung diminta membenahi sistem pengendalian internal (SPI) atas piutang Kejaksaan Agung RI (Kejakgung), kejaksaan tinggi (kejati), dan kejaksaan negeri (kejari). Rekomendasi tersebut disampaikan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas audit terhadap Kejakgung, kejati, dan kejari di lingkungan Kejati DKI Jakarta serta Kejati Jawa Barat tahun 2012.

Dalam dokumen hasil pemeriksaan BPK disebutkan, akibat tidak memadainya SPI di Kejaksaan RI, ada uang pengganti senilai Rp 816,29 miliar yang tidak ditemukan berkas dan putusannya. Berkas putusan yang hilang itu terjadi di Kejari Jakarta Pusat (20 berkas, Rp 815,67 miliar) dan Kejari Bale Bandung (empat berkas, Rp 619,61 juta).

Selain berkas yang hilang, BPK juga mencatat, Kejakgung belum melaporkan uang pengganti (UP) kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 1,29 triliun ke dalam neraca keuangannya. UP sebanyak itu tercatat atas nama terpidana kasus BLBI, David Nusa Wijaya, dalam nomor perkara 830 K/Pid/2003 23 Juli 2003. Selain David, ada miliaran uang pengganti dari 15 terpidana lainnya yang juga belum dilaporkan Kejakgung kepada negara.

Dosen hukum pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi berpendapat, Kejakgung harus mengusut hilangnya berkas dan putusan perkara di lingkungan kejari. “Harus dicari tahu motif di balik hilangnya berkas putusan itu,” kata Akhiar kepada Republika, Kamis (20/2).

Apabila sudah diketahui siapa yang menghilangkan, kata Akhiar, maka Kejakgung dapat menindaklanjutinya dengan pemberian sanksi etika atau bahkan pidana. Menurut Akhiar, pada awalnya bisa saja berkas putusan yang hilang ini hanya persoalan administrasi. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan penghilangan berkas perkara masuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Misalnya, ternyata oknum yang sengaja menghilangkan berkas-berkas putusan tersebut kemudian mendapatkan gratifikasi atas tindakannya. “Kalau ini yang terjadi maka benar-benar parah sekali kondisi di kejaksaan,” ujar Akhiar.

Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak) Kaspudin menyatakan, hasil pemeriksaan BPK menunjukkan belum transparannya sistem informasi di lingkungan Korps Adhyaksa. “Informasi mengenai putusan sampai pengelolaan uang penggantinya tidak terbuka.”

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejakgung Untung Setia Arimuladi enggan berkomentar terkait uang pengganti dan berkas perkara yang hilang di kejari. Untung memilih untuk mempelajari terlebih dahulu dokumen hasil pemeriksaan BPK. Kendati demikian, dia mengakui, Kejakgung sudah menyadari perlunya kerja keras yang harus terus dipacu dari para jaksa di bagian keuangan.

Wakil Ketua BPK Hasan Bisri menyatakan, auditor telah menyampaikan bahwa catatan keuangan Kejaksaan RI, utamanya terkait uang pengganti, selama ini dikelola dengan amburadul. Akibatnya, Kejakgung kesulitan untuk menjelaskan gambaran keuangan uang pengganti yang berkasnya hilang tanpa data valid.

“Inilah mengapa kita katakan perlunya dikembangkan laporan keuangan dalam bentuk neraca update oleh kejaksaan. Kami sudah sarankan sejak terakhit audit 2012,” ujar Hasan. Tanpa bermaksud berburuk sangka, Hasan melanjutkan, BPK meminta kejaksaan agar lebih rapi menaruh semua data yang berhubungan dengan uang.

Meksi pada dasarnya kejaksaan adalah lembaga hukum, namun kinerja mereka juga seharusnya tak menjadi lemah dalam hal pendataan uang. “Ini kan jadi sulit. Apa benar uang tidak masuk? Apa (berkas perkara) itu hilang? Andaikan ada rekapitulasi yang tersusun rapi maka semua bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Hasan.n ed: n n erdy nasrul/gilang akbar prambadi/ ed: eh ismail

Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement